Podiumnews.com / Kolom / Opini

Ada Tikus! Kok Lumbung yang Dibakar?

Oleh Editor • 27 Mei 2025 • 22:24:00 WITA

Ada Tikus! Kok Lumbung yang Dibakar?
Valerian Libert Wangge . (dok/pribadi)

SEBUAH pepatah tua, “untuk menangkap tikus, tidak harus lumbung yang dibakar”. Pesan bagi setiap kita, terutama pihak otoritas, dalam menyikapi masalah sosial, apalagi yang sedang jadi pergunjingan media sosial (viral).

Catatan kecil ini hendak menyoroti masalah sosial, urban, dan kamtibmas di Bali, yang dalam perspektif saya, ada semacam ambiguitas.

Ambiguitas itu artinya “bermakna ganda” yang berasal dari kata Latin ambiguus. Dalam linguistik, ambiguitas merujuk semacam arus gejala diksi di mana suatu ungkapan bisa bertafsir ganda.

Masalah sosial, urban, dan kamtibmas yang viral memang meresahkan, namun di sisi lain ambigu dalam pilihan solusi penyelesaian. Ambiguitas ini tidak hanya karena tsunami berita buruk (bad news), tetapi juga efek dari kekeringan literasi.

Di satu sisi solusi untuk kenyamanan bersama diterjemahkan lewat tindakan penolakan terbuka dan tertutup pada sekelompok urban untuk urusan rumah hunian. Sebuah reaksi publik yang seharusnya bisa dicegah, bukan justru dibiarkan.

Dalam dua pekan terakhir, saya menerima banyak pertanyaan konfirmatif, "Apakah benar saat ini warga diaspora NTT mengalami kesulitan mendapatkan rumah kos di Bali?"

Rupanya ada pesan berantai, seruan, dan ajakan untuk tidak memilih Bali sebagai destinasi studi dan pekerjaan di NTT sana. Cukup untuk menjawab ini, sebab selama 30 tahun menetap di Bali, situasi ini nyaris tidak pernah terjadi, kecuali riak kecil pasca Bom Bali. Namun tidak semasif saat ini.

Satu sisi, ada fakta dan testimoni penolakan itu, tapi sisi lain yang menjadi akar masalah tak kunjung dibereskan. Saat yang sama, berita kamtibmas dengan oknum warga diaspora NTT malah terus bermunculan. Ibarat belum selesai satu masalah, muncul lagi masalah yang baru.

Masifnya pemberitaan ini yang sepertinya membuat publik netizen tiba pada kesimpulan bahwa ini tidak lagi soal ulah oknum, tetapi menjadi tabiat sebuah kelompok etnik dan akhirnya menjadi bias, – yang penting NTT, ya ditolak.

Situasi ini jika tidak segera menemukan solusi yang komprehensif, objektif, dan terukur, maka yang akan alami kerugian tidak hanya diaspora NTT yang tak bersalah, tetapi juga berimbas pada citra dan ekonomi Bali di masa depan.

Pulau yang identik dengan keramahan warganya, yang hidup dari tourisme, tanpa disadari mulai terstigma sebagai wilayah yang "tidak aman kamtibmas" dan "tidak ramah orang luar".

Lalu siapa atau pihak mana yang akan ambil untung dengan situasi seperti ini?

Menurut saya, pembiaran pihak otoritas telah masuk dalam jebakan berbahaya yang tanpa filter menyetujui opini medsos, yang mungkin benar marah atau sengaja memanasi situasi atau bertujuan algoritma monetisasi.

Bill Kovach, seorang jurnalis senior yang kini telah berusia 93 tahun berpesan bahwa di era revolusi media sosial, ada hak dan tanggung jawab warga (netizen) terkait dengan segala hal pemberitaan.

Saya pernah berjumpa Kovach dua dasawarsa lalu dan bukunya menjadi salah satu referensi penting bagi kalangan jurnalis. Kovach mengingatkan bahwa kewajiban utama jurnalisme itu pada kebenaran, loyalitasnya harus pada warga, dan disiplin jurnalisme itu adalah disiplin verifikasi. Jurnalisme harus ada dalam posisi yang tetap independen pada segala liputannya.

Jurnalisme menurutnya wajib melayani sebagai pemantau yang independen terhadap otoritas kekuasaan, dengan menyediakan forum kritik maupun otokritik dari komentar publik.

Tentu yang disajikan jurnalisme itu hal yang penting, menarik, dan relevan. Beritanya mesti komprehensif dan proporsional, serta wajib bagi jurnalis mengikuti suara nurani mereka!

Saat ini semakin sering kita jumpai berita yang dibungkus opini, sehingga yang tidak sadar melihat ini hal biasa. Informasi yang baik dan buruk itu sama pengaruhnya dan selalu akan menarik pengikut, sebab ia akan berjalan dari kepala ke kepala.

Sampai di sini, saya memberikan dua catatan akhir: pertama, mengajak netizen untuk bisa lebih menahan diri dalam beropini dan meneruskan berita yang bisa membakar kebencian antaretnik, meski maksudnya untuk berbagi kabar. Kedua, otoritas pusat, daerah, hingga di sektor-sektor paling dekat dengan warga untuk lebih selektif dalam bertindak.

Bali memiliki kekhasan, namun tidak akan bisa tumbuh dan bertahan sendirian. Bali hidup dari tourisme, jadi memang perlu stabilitas keamanan dan citra yang nyaman bagi siapa pun yang datang.

Hukum positif harus tegas menyasar oknum, penghukuman sosial bisa diberikan dengan selektif. Jangan sampai niat baik terjebak dalam mainan pihak lain. Sekali lagi, “untuk menangkap tikus, tidak harus lumbung yang dibakar”. (*)

Penulis: Valerian Libert Wangge  (Aktivis 1998 / Praktisi Hukum / Sekum Paguyuban IKB Flobamora NTT di Bali)