Menulis yang Memihak, Menyeruput yang Jujur
KOPI tak pernah bicara soal netralitas. Ia selalu punya rasa—pahit, asam, kadang getir, kadang menenangkan. Kita hanya perlu jujur pada apa yang diseruput, lalu memilih menikmatinya atau tidak. Mungkin seperti itulah menulis, dan menjadi jurnalis: bukan perkara netral, tapi tentang keberanian memilih dan bertanggung jawab atas rasa.
Malam itu, Selasa yang biasa di sebuah rumah makan kecil di Denpasar, saya sedang menikmati kopi kedua ketika panggilan masuk dari editor saya. Ia masih muda, baru enam bulan bergabung di kantor media daring yang saya kelola. Suaranya biasanya cepat, padat, dan ceplas-ceplos. Tapi malam itu nadanya lain—lebih pelan, lebih ragu-ragu, seperti menimbang jeda antara kata dan makna.
Sore tadinya, ia sempat bertanya soal editorial. Saya menjelaskan seadanya, tanpa basa-basi: “Editorial itu sikap. Harus memihak. Dan keberpihakan itu bukan pada siapa, tapi pada apa: kepentingan publik.”
Ia mengangguk—walau hanya saya bayangkan dari seberang suara.
Ternyata malam itu ia ingin membicarakan sesuatu yang lebih pribadi: media kecil yang sedang ia rintis. Ia meminta pendapat soal nama dan arah editorialnya. Saya katakan, nama medianya sudah punya watak. Tegas. Ia hanya perlu menjaganya tetap bernapas dalam tiap rubrik dan tulisan.
“Visi itu harus kelihatan sejak di judul berita, sampai gaya bahasa,” ujar saya sambil menyeruput kopi yang mulai mendingin. “Dan jangan takut memihak, selama kamu tahu siapa yang kamu bela.”
Ia tertawa kecil. “Bos jeg santai ngopi gen terus!” katanya dengan logat khas.
Saya menjawab singkat, “Kalau kamu nggak mau denger, ya sudah.”
Obrolan kami berlanjut sebentar. Ia tampak lebih mendengar malam itu—jarang-jarang. Saya senang, sekaligus diam-diam terharu. Mungkin beginilah rasa ketika mulai benar-benar mendelegasikan sesuatu kepada generasi setelah kita.
Di tengah percakapan, pesan WhatsApp masuk dari seorang kawan lama. Seorang advokat, dulu aktivis 1998, pernah jadi jurnalis juga. Ia minta agar tulisannya dimuat. Saya membaca sekilas—isinya tajam, lugas, dan tetap jujur seperti dulu.
Kami sudah lama tak ngopi bareng, tapi beberapa minggu lalu sempat bertemu di salah satu kedai di Denpasar. Ia masih seperti dulu—meski kini tak lagi memakai topi yang dulu jadi ciri khasnya. Tapi pemikirannya tetap jernih. Idealisme di matanya masih menyala.
“Sekarang tulisan jadi terapi,” tulisnya. “Bukan untuk marah-marah, tapi untuk tetap waras, tetap jujur, dan semoga tetap berguna untuk yang lain.”
Saya membaca pesannya berkali-kali, seperti membaca ulang lembar-lembar sejarah yang dulu pernah kami lewati bersama—diskusi larut malam, rapat akbar, liputan diam-diam. Sekarang semua lebih sunyi, tapi tidak kehilangan makna.
Malam makin larut. Kopi saya tinggal sisa di dasar cangkir. Editor muda saya menutup telepon dengan pamit yang singkat. Saya lantas membuka laptop, membaca ulang tulisan opini dari kawan lama itu, dan menyiapkannya untuk terbit dini hari.
Karena saya percaya: menulis bukan hanya tentang menyusun kata, tapi tentang memihak dengan sadar. Dan seperti kopi yang jujur pada rasanya, tulisan pun sebaiknya jujur pada sikap dan niatnya. Tidak lebih, tidak kurang. (*)
(Menot Sukadana)