Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Di Ambang Wanaprasta

Oleh Editor • 28 Mei 2025 • 01:25:00 WITA

Di Ambang Wanaprasta
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

SEPERTI kopi Bali yang pelan-pelan mengendap di dasar cangkir, hidup pun menyimpan fase-fase yang tak selalu terlihat di permukaan. Dalam ajaran Hindu Bali, kami menyebutnya Catur Asrama—empat tahap dalam perjalanan hidup manusia: Brahmacari, Grhasta, Wanaprasta, dan Sannyasa.

Dulu, saya mengenal ajaran ini sebagai bagian dari pelajaran agama di sekolah. Tapi hari-hari belakangan ini, saya tidak sekadar mengingatnya. Saya mulai mengalaminya.

Kini usia saya dua tahun lagi menginjak lima puluh. Tak muda lagi, tapi belum sepenuhnya tua. Dan justru di ambang inilah, saya merasa hidup memanggil saya untuk berjalan lebih pelan, lebih dalam.

Saya lahir dan besar di keluarga pemilik warung kopi. Dari ibu, saya mengenal kopi Bali—pahitnya jujur, aromanya tenang, rasanya mengikat. Warung kopi itu bukan sekadar tempat jualan, tapi tempat bertukar cerita, tempat mendengar orang-orang yang pulang, atau yang hendak pergi.

Dan entah sejak kapan, kopi itu menjadi cara saya memandang hidup. Setiap teguknya seperti metafora dari fase-fase kehidupan. Kadang pahit, kadang hangat. Kadang dingin karena kita terlalu lama menunggu.

Setelah puluhan tahun bergelut di dunia media dan jurnalisme, saya kini merasakan panggilan wanaprasta. Dulu, orang masuk hutan. Kini, “hutan” itu adalah kesunyian di dalam diri. Saya tidak ke gunung atau gua, tapi saya mulai lebih memilih diam, mendengar, menulis perlahan.

Saya ingin membuka sebuah warung kopi kecil di kampung. Namanya Redaksi. Di sana, saya membayangkan orang-orang datang bukan hanya untuk kopi, tapi juga untuk cerita. Saya akan tetap menulis. Akan tetap mengelola media. Tapi dengan ritme yang lebih jernih. Dengan niat yang lebih sederhana: berbagi.

Saya ingin hidup saya ke depan cukup secara materi, agar bisa tenang. Tapi lebih dari itu, saya ingin menjadi orang yang bisa memberi arti bagi orang lain, terutama generasi muda di kampung. Lewat literasi, lewat tulisan, lewat jeda.

Karena mungkin itulah esensi dari wanaprasta:

menepi tanpa mengasingkan diri,
diam tanpa memutus suara,
dan menua bukan dengan takut, tapi dengan damai.

Saya tak tahu berapa lama lagi waktu yang tersisa. Tapi saya tahu ke mana arah yang ingin saya tuju.
Saya ingin menjadi seperti kopi Bali—yang tak ribut, tapi menghangatkan.
Yang tak mencari perhatian, tapi dicari karena rasanya tinggal lama di lidah dan pikiran.

Karena hidup yang baik bukan yang paling panjang,
tapi yang tahu kapan harus bicara, dan kapan harus hening.
Seperti kopi yang tidak selalu harus hangat,
tapi tetap meninggalkan rasa. (*)

(Menot Sukadana)