BERKALI-KALI saya ditanya atau terlibat diskusi ringan definisi wartawan abal-abal. Abal-abal berasal dari bahasa gaul yang berarti palsu, tidak asli, atau murahan. Sekarang istilah ini juga diarahkan ke profesi wartawan. Tidak hanya di ruang privat, tapi juga ruang publik seperti media sosial. Jika merujuk dari Undang-Undang Nomor 40 tentang Pers, semestinya tidak ada lagi wartawan abal-abal dalam arti palsu. Setidaknya secara administratif. Karena sisi administratif dari undang-undang itu, seseorang sah menjadi wartawan jika bernaung di bawah perusahaan pers yang berbadan hukum. Terus, kenapa muncul istilah wartawan abal-abal, termasuk dari kalangan pers sendiri? Sebutan abal-abal sering merupakan ungkapan verbal dari luapan emosi. Emosi karena merasa dirugikan dari yang abal-abal itu. Namun yang perlu diingat, kata “merugikan” dalam konteks berita media massa bersifat relatif. Yang merasa dirugikan dalam sebuah pemberitaan bisa saja menuding abal-abal wartawan yang meliput dan menulis berita. Padahal, berita itu sudah memenuhi aturan, kaidah, dan norma jurnalistik. Pekerjaan Moral Apa pun yang berhubungan dengan moral sulit atau bahkan mustahil diikat dalam aturan yang baku. Aturan-aturan atau hukum-hukum hanya menjadi pembatas manusia untuk menjaga moralnya. Pelanggaran-pelanggaran atas moral akan selalu ada, bahkan ketika moral itu sudah masuk dalam norma hukum yang disepakati manusia. Dalam kerja jurnalistik, aturan yang dominan mengikatnya adalah moral dari pekerja jurnalistik itu sendiri. Undang-undang pers hanya mengatur garis besar kerja kewartawanan, termasuk legalitas perusahaan media. Demikian juga Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Yang lebih besar dan penting dari undang-undang pers dan KEWI adalah perilaku individu seorang wartawan. Sebab ujian terbesar dari seorang wartawan adalah godaan. Godaan karena merasa memegang kuasa menggiring opini publik. Yang terjerumus dalam godaan ini dipastikan, meski beritanya memenuhi kaidah jurnalistik, akan terlihat tendensius. Saya pribadi memaknai kerja sebagai wartawan secara sederhana tapi istimewa. Sederhana karena tugas pokok wartawan hanya mencari dan menulis berita. Istimewa bukan dalam hal merasa, namun karena tidak mudah menguasai teknik mencari dan menulis berita. Ada ilmu dan skill yang kompleks dalam kerja-kerja jurnalistik. Tidak kalap ketika jadi wartawan. Itu bisa sebagai kendali agar tidak menjadi wartawan yang sah secara administrasi, tapi perilakunya abal-abal. Tahu intrik tapi tidak menjadi bagian dari intrik. Itu untuk menjaga agar berita tidak tendensius. Sebagai agen informasi yang berita-beritanya sering menimbulkan ekses besar, menjadi wartawan adalah daya tarik. Kenal dan dikenali kalangan elite, baik elite pemerintah atau elite ekonomi, merupakan keinginan manusiawi setiap manusia. Tidak ada hal yang salah dengan itu, sepanjang tetap menjaga marwah sebagai wartawan. Wartawan Utuh Menjadi wartawan yang memenuhi syarat administrasi dan perilaku, itulah wartawan yang utuh. Ketika liputan, tujuan utamanya adalah mencari berita. Ketika pun ada informasi-informasi yang diputuskan tidak diberitakan, semata-mata karena pertimbangan kemaslahatan. Bukan karena transaksional. Bekerja dalam dunia yang penuh godaan, memang sulit tidak tergoda. Tapi semua ada batasnya. Andaipun belum bisa mencapai integritas yang ideal, setidaknya pada diri wartawan masih menyediakan ruang bagi integritas dalam perilaku jurnalistiknya. Menjadi wartawan yang baik itu sulit. Namun tidak sulit menjadi wartawan yang benar. Benar dalam menuliskan fakta, benar-benar berimbang dan objektif dalam menulis berita, dan benar-benar melepaskan kepentingan selain memberikan informasi kepada publik. Saat ini, membuat media massa bukan hal yang sulit. Cukup berbadan hukum dan biaya tidak terlalu besar untuk menyewa server, media massa daring bisa beroperasi. Berbeda saat era media cetak seperti koran, tabloid, atau majalah. Biaya rutin yang dibutuhkan sangat besar untuk cetak. Menjamurnya media massa karena kemudahan aturan dan biaya membuat jumlah wartawan juga berlipat ganda. Ini seharusnya baik bagi perkembangan pers. Kebebasan yang luar biasa dalam undang-undang pers benar-benar dimanfaatkan warga negara untuk mendirikan media massa. Namun di tengah gegap gempita bertambahnya jumlah media massa, terselip kegelisahan. Kegelisahan yang berdasarkan fakta di lapangan. Kepemilikan kartu pers sudahkah diimbangi kemampuan personal untuk menjalankan fungsi utuh sebagai wartawan? Atau kartu pers itu hanya sekadar memenuhi syarat administrasi? Gembong Ismadi (Jurnalis tinggal di Jembrana, Bali)
Baca juga :
• Terjerat Kabel Wifi
• Bali Terdampak Geopolitik Timur Tengah
• Kurikulum Cinta