Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Warung Kopi Sebelum Gelap

Oleh Editor • 28 Mei 2025 • 20:54:00 WITA

Warung Kopi Sebelum Gelap
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

Di senja yang hampir habis, kopi dan percakapan menjadi suluh terakhir sebelum malam menutup segalanya.

“Senja pelan-pelan turun di antara sawah yang mulai gelap. Warung kopi itu menyalakan lampunya yang temaram, seperti memberi isyarat bahwa tak ada yang perlu tergesa di dunia ini. Di tempat itu, sebelum malam benar-benar jatuh, aku dan sahabatku belajar memaknai hidup dari cangkir yang tak pernah penuh, tapi cukup.”
Catatan Senja

Enam bulan terakhir, saya punya kebiasaan baru: menikmati kopi senja di sebuah warung sederhana di Dalung. Warung itu berdiri di tepi sawah, dengan bangunan tradisional, kursi kayu, dan aroma jaje Bali yang masih hangat dari dapur. Di antara warung-warung kopi yang berlomba dengan dekorasi kekinian, tempat ini seperti jeda yang menolak terburu-buru.

Kadang saya datang bersama seorang kawan, tapi lebih sering sendiri. Saya duduk menghadap sawah, memesan kopi Bali yang diseduh manual, dan membiarkan suara angin serta bunyi jangkrik menyela diam. Di sana, saya menyiapkan diri untuk menulis—menyusun kata, menyaring pikiran, dan mencoba jujur dalam tulisan. Karena seperti kopi hitam tanpa gula, kejujuran tak selalu manis, tapi dibutuhkan.

Tempat ini pertama kali saya kenal lewat seorang sahabat: wartawan asal timur Indonesia yang kini mengelola media sendiri dengan jalannya sendiri. Rambutnya sudah memutih nyaris seluruhnya meski usianya lebih muda dari saya. Ia membiarkannya begitu—tidak menyemir, tidak menyembunyikan waktu. Ia, seperti kopi yang ia nikmati, disajikan apa adanya.

Kami sering bertemu menjelang gelap, berbincang tentang banyak hal—tentang dunia media yang terus berubah, politik yang kian riuh dan penuh strategi, atau soal hidup yang diam-diam melewati kita. Ia tidak banyak bicara, tapi sekali berbicara, kalimatnya jernih dan dalam. Jika ia tidak setuju, ia akan bilang. Tidak dengan suara tinggi, tapi dengan tatapan dan alasan yang sulit disangkal.

Ia tak suka kepura-puraan. Ia percaya pada hidup yang lurus, yang diterima dengan jujur, meski kadang pahit. Seperti yang pernah ia katakan pada saya, “Pahit itu tak selalu buruk, Om. Kadang justru bikin kita terjaga.” Saya hanya tertawa saat itu, tapi saya tahu: itu bukan kalimat yang lahir dari teori. Itu pengalaman hidup yang tersaring lama.

Ia juga kerap menasihati saya tentang kesehatan. Tentang mengurangi rokok dan membatasi kopi. Saya dulu bisa menyeruput delapan hingga dua belas cangkir kopi sehari. Kini, saya mulai mengendalikannya—empat hingga enam cangkir saja. Masih tinggi, tapi sudah lebih sadar. Karena ternyata, hidup yang baik bukan yang penuh, tapi yang cukup. Seperti secangkir kopi yang diseruput perlahan tanpa harus diisi ulang terus-menerus.

Kami punya mimpi yang sama: rumah mungil di tepi sawah. Jauh dari kebisingan kota. Dekat dengan pagi yang bersahabat. Ia mungkin akan lebih dulu mencapainya, sebab ia tahu bagaimana mengatur hidup. Ia bukan hanya tahu cara mencari uang, tapi juga menjaga nilainya. Bukan untuk kemewahan, tapi untuk ketenangan.

Di warung itu, sebelum langit benar-benar gelap, kami saling diam setelah percakapan panjang. Memandang sawah yang mulai senyap, langit yang mulai kehilangan warna. Tak ada yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Di usia seperti ini, kita tak lagi mencari tepuk tangan. Kita hanya ingin kejujuran yang tidak memaksa untuk dipahami, tapi cukup untuk menemani.

Warung kopi itu akan tutup sebentar lagi. Lampu gantung di langit-langit bergoyang pelan, diterpa angin lembut yang menandai malam segera tiba. Tapi saya tahu, pertemuan hari itu tak akan ditutup gelap. Sebab, bahkan malam pun punya cahayanya sendiri. Dan secangkir kopi sebelum gelap adalah caranya memberi kita waktu—untuk pulang, untuk mengendap, dan untuk mengingat siapa diri kita sebenarnya. (*)

(Menot Sukadana)