Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Ingat Siapa Kita

Oleh Editor • 01 Juni 2025 • 18:17:00 WITA

Ingat Siapa Kita
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

“But we cannot forget who we are. Or where we come from.”
Kaisar Meiji, The Last Samurai

Di ujung film The Last Samurai, Kaisar Meiji berdiri menatap pedang Katsumoto—seorang samurai terakhir yang telah gugur bukan karena kalah dalam perang, tetapi karena zaman telah berubah terlalu cepat. Dan saat itu, dalam sepotong sunyi yang pekat, sang Kaisar berkata:

“Aku bermimpi tentang Jepang yang kuat, modern, dan mandiri… Tapi kita tak boleh lupa siapa kita. Atau dari mana kita berasal.”

Kalimat itu tak berhenti di layar. Ia menyeberang jauh, menelusup pelan ke ruang batin manusia-manusia yang sedang berdiri di persimpangan antara modernitas dan akar tradisinya. Termasuk kita—manusia Bali hari ini.

Pagi ini aku menyeduh kopi Bali dengan cara lama. Bubuknya kasar, airnya mendidih pelan, tak ada timer atau mesin berdesain minimalis. Hanya bunyi air, wangi tanah, dan sisa doa ibu yang masih mengalir dari dalam dapur. Rasanya sederhana. Tapi di situ justru ada kejujuran yang tak bisa digantikan.

Begitu juga dengan hidup.

Kita bisa memakai jas barat, belajar di luar negeri, meniti karier di kota besar, dan membangun bisnis yang hebat. Tapi jangan sampai kita kehilangan rasa dari mana kita berasal.

Karena modern bukan berarti harus mencabut akar.
Karena kemajuan tak harus mengorbankan jiwa.

Justru sekarang, konflik itu makin nyata terasa.
Anak-anak muda Bali hari ini bisa membuat aplikasi, jadi content creator, bahkan jadi duta budaya digital. Tapi di sisi lain, ada yang tak lagi tahu bagaimana menyapa dengan hormat.
Banyak yang fasih berdebat di ruang daring, tapi gagap dalam berkata santun pada orang tua.
Ada yang bisa bicara soal globalisasi, tapi tak paham kenapa orang tuanya masih setia menaruh canang di sudut rumah.

Kita mulai bicara lantang, tapi kehilangan kelembutan.
Kita makin pintar, tapi pelan-pelan lupa caranya menunduk.

Ini bukan tentang melarang kemajuan. Ini tentang jangan sampai kita tumbuh tinggi dengan akar yang retak.

Jepang tetap menjadi Jepang karena mereka menyimpan ruh samurai dalam disiplin modernnya. Mereka tidak menukar seluruh masa lalunya dengan gedung-gedung kaca. Mereka justru menyisipkan sejarah dalam setiap gerak ke depan—maka majulah mereka, bukan hanya sebagai negara kuat, tapi sebagai bangsa yang utuh.

Bali pun begitu.

Kita bisa tumbuh. Tapi jangan lupa menunduk saat lewat pelinggih. Kita bisa digital, tapi jangan malu untuk tetap berkata santun. Kita bisa internasional, tapi tetap bangga memakai kamen di depan altar kecil yang diwariskan kakek-nenek kita.

Jangan sampai kita terlalu sibuk mengejar, sampai lupa jalan pulang.
Jangan terlalu larut dalam rasa asing, sampai kita tak mengenali seduhan sendiri.

Karena manusia yang kehilangan akarnya, akan tumbuh tinggi tapi rapuh.
Karena kopi yang kehilangan tanahnya, mungkin bisa tampil indah, tapi tak lagi punya rasa.

Maka, ingat siapa kita.
Bukan karena kita takut berubah,
tapi karena kita tahu:
yang bertahan bukan yang tercepat, tapi yang paling setia pada akar yang menumbuhkannya. (*)

(Menot Sukadana)