Search

Home / Khas / Pemerintahan

Pengabdian yang Tak Tercatat di Absen

Editor   |    01 Juni 2025    |   19:54:00 WITA

Pengabdian yang Tak Tercatat di Absen
Walikota Jaya Negara resmi melantik dan mengambil sumpah PPPK di lingkungan Pemkot Denpasar di Lapangan I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar, Minggu (1/6/2025). (foto/fathur)

SAAT fajar baru merekah di Lapangan I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar, Minggu 1 Juni 2025, langkah-langkah kecil membentuk barisan besar. Ribuan orang berseragam rapi berdiri dengan dada membusung dan mata berkaca.

Di antara ribuan wajah itu, berdiri sosok sederhana bernama I Nyoman Budiasa, lelaki asal Peguyangan Kaja, yang tak banyak bicara, tapi menyimpan satu kisah panjang: 22 tahun mengabdi sebagai tenaga kontrak, tanpa jabatan, tanpa sorotan, hanya satu yang ia bawa setiap hari—kesetiaan.

Sepuluh Ribu per Hari

Budiasa memulai pengabdiannya sebagai sopir angkutan di Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Denpasar, dengan gaji harian hanya Rp10 ribu.

“Dulu dapat gaji sepuluh ribu per hari, sekarang sudah lumayan,” ujarnya pelan, sembari tersenyum.

Tak ada nada getir. Yang ada hanya semacam kelegaan yang tenang—seperti orang yang telah menempuh jalan jauh dan akhirnya tiba di pelabuhan yang ia doakan setiap malam.

Setiap pagi, ia menyapu jalanan kota. Bukan karena ingin dikenal, tapi karena memang itu tugasnya. Dan meski absennya sering ditandatangani tanpa banyak yang memperhatikan, Budiasa tahu bahwa panggilan kerja adalah bagian dari dharma, bukan sekadar daftar hadir.

Disumpah di Tanah Perjuangan

Tanggal pelantikan itu bukan sembarang hari. 1 Juni adalah Hari Lahir Pancasila, dan lapangan tempat mereka dilantik adalah tanah Puputan Badung, tempat darah dan harga diri rakyat Bali pernah tumpah tanpa takut. Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, menyebut momen ini sebagai penanda spiritual, bahwa pengabdian seorang ASN harus berakar pada nilai-nilai luhur Pancasila dan dharma pelayanan.

“Yang baru dilantik hari ini bukan hanya diberi status, tapi diberi jiwa baru untuk melayani,” ujarnya.

Dan bagi Budiasa, barangkali jiwa itu sudah lama ia peluk, jauh sebelum upacara digelar, jauh sebelum jabatannya diakui.

Tak Pernah Diperhitungkan

Selama dua dekade lebih, Budiasa tak pernah viral. Tak ada yang menulis kisahnya. Ia tak pernah diminta tampil dalam forum birokrasi atau wawancara TV lokal. Tapi ia selalu datang paling pagi, membersihkan jalan, menjaga angkutan, mengantar kebutuhan dinas. Bahkan saat Denpasar diguyur hujan deras atau diterpa pandemi, Budiasa tetap datang.

Namanya mungkin tidak pernah tercetak di absen rapat strategis, tapi ia selalu hadir di tempat yang dibutuhkan kota ini.

Dari Sunyi Menuju Sumpah

Kini statusnya telah berubah. Ia resmi menjadi PPPK dan ditempatkan di UPTD DLHK Kota Denpasar. Tapi cara jalannya tetap sama, bicaranya tetap pelan, dan wajahnya tetap seperti dulu: tenang.

“Saya sangat bersyukur. Terima kasih kepada Bapak Walikota dan semua pihak yang memperjuangkan kami,” katanya.

Tapi kalau boleh jujur, yang ia perjuangkan jauh lebih besar: rasa tanggung jawab, loyalitas tanpa banyak tuntutan, dan keyakinan bahwa melayani bukan untuk dihitung—tapi untuk dijalani.

Tak Semua Punya Catatan Tertulis

Kisah Budiasa adalah kisah tentang mereka yang tak dikenal tapi dibutuhkan. Tentang mereka yang tidak duduk di kursi penting, tapi menjadi penopang dari kenyamanan yang kita nikmati setiap hari.

Dan hari itu, Kota Denpasar tak hanya menyumpah 3.926 orang menjadi PPPK, tapi juga mengakui bahwa ada ribuan pengabdian yang selama ini tak pernah tercatat di absen—tapi tertulis dalam rasa hormat masyarakat.

Karena kadang, yang paling layak diberi penghormatan bukan yang paling sering disebut, tapi yang paling jarang absen dari pengabdian sunyi. (fathur/suteja)

Baca juga :
  • Denpasar Apresiasi Perjuangan Para Pemburu Jentik
  • Bingkisan Senja, Kisah Pengabdian
  • Dek Sintya Kembangkan Aplikasi SIJIWA