Pancasila tak lahir dalam sehari. Ia menempuh perjalanan panjang—melewati sunyi pengasingan, ruang tambang, dan ruang sidang kolonial. SETIAP 1 Juni, kita memperingati Hari Lahir Pancasila. Tanggal ini merujuk pada pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di Gedung Chuo Sangi In—kini dikenal sebagai Gedung Pancasila, Jakarta. Namun, pidato Bung Karno bukanlah permulaan. Sebelumnya, dua tokoh besar lainnya—Mohammad Yamin dan Soepomo—juga telah menyampaikan pandangan mereka tentang dasar negara dalam sidang BPUPKI yang berlangsung sejak 29 Mei 1945. Mohammad Yamin mengawali dengan lima asas pada 29 Mei: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Soepomo menyusul pada 31 Mei, menekankan nilai-nilai Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan Lahir dan Batin, Musyawarah, dan Keadilan Rakyat. Puncaknya, pada 1 Juni, Ir. Soekarno memperkenalkan istilah Pancasila—lima prinsip dasar yang mencakup Kebangsaan, Internasionalisme (Perikemanusiaan), Demokrasi, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebuah rumusan yang kemudian menjadi fondasi ideologis Republik Indonesia. Namun, jika kita hanya berhenti pada pidato, maka kita melewatkan satu hal penting: jejak panjang yang membawa Pancasila lahir ke dunia. Empat tahun sebelum sidang itu, Bung Karno diasingkan oleh Belanda ke sebuah kota kecil di Nusa Tenggara Timur: Ende. Di rumah pengasingan yang sederhana, Bung Karno banyak merenung, membaca, dan berdiskusi dengan dirinya sendiri—jauh dari hiruk-pikuk politik kolonial. Konon, dari perenungan di bawah pohon sukun di Ende, ide-ide awal tentang kebangsaan, kemanusiaan, dan persatuan mulai dirumuskan dalam batinnya. Rumah pengasingan itu kini menjadi bangunan cagar budaya nasional, tempat sejarah terasa diam tapi berbicara. Tak kalah penting adalah Sawahlunto, kota tambang di Sumatera Barat—tempat kelahiran Mohammad Yamin. Dari kota kecil inilah Yamin membawa tekad besar: bahwa Indonesia membutuhkan dasar negara yang menjunjung kemanusiaan dan keadilan. Kini, Sawahlunto bukan hanya dikenal karena situs tambangnya yang jadi warisan dunia UNESCO, tapi juga sebagai kota tempat nilai-nilai kebangsaan itu berakar dari pengalaman sosial yang keras: kerja paksa, eksploitasi, dan perlawanan. Di Jakarta, di dalam Gedung Chuo Sangi In, gagasan-gagasan itu akhirnya dikristalisasi dalam forum resmi. Di sinilah tiga tokoh besar menyampaikan pandangannya, di hadapan para anggota BPUPKI yang sedang merumuskan masa depan sebuah bangsa. Gedung itu kini dikenal sebagai Gedung Pancasila, simbol tempat kelahiran ideologi bangsa. Namun seperti halnya rumah di Ende dan tanah tambang di Sawahlunto, gedung itu hanyalah ruang—yang jadi berarti karena kisah di dalamnya. Pancasila bukan milik satu orang. Ia lahir dari dialektika tiga tokoh, dari ruang-ruang berbeda, dari luka penjajahan yang dirasakan bersama, dan dari cita-cita tentang bangsa yang merdeka dan beradab. Maka saat kita memperingati 1 Juni, kita tidak sedang memuliakan satu pidato, tetapi menghormati perjalanan gagasan, perenungan yang jernih, dan kerja kolektif untuk merumuskan arah bangsa. (*) (Dewa Fathur)
Baca juga : Tiga Tokoh, Tiga Gagasan
Dari Ende ke Jakarta
Sawahlunto, Tambang dan Tekad
Gedung Pancasila, Titik Kristalisasi
Sebuah Perjalanan Kolektif
• Pancasila dan Musyawarah yang Tak Pernah Usang
• Pancasila Harus Diteladankan Sejak Dini, Bukan Sekadar Diajarkan
• Bawaslu Harus Mendidik, Bukan Hanya Menindak