DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Gemuruh debat di media sosial kerap memancing argumen demi menang, bukan untuk memahami. Tapi Sabtu (7/6/2025)siang itu, sebuah forum lintas generasi di Aula Widya Sabha Mandala, Universitas Udayana, menghadirkan suasana yang berbeda. Forum itu menghidupkan kembali musyawarah sebagai nilai yang tak pernah usang. Namanya: Dialog Kebangsaan 2025. Dengan tema “Pancasila Menjawab Tantangan Zaman”, acara ini bukan sekadar seremoni. Di dalamnya tumbuh kembali nilai-nilai yang mulai memudar dalam hiruk-pikuk digital: mendengar, berdialog, dan menyepakati. Ketua TP PKK Provinsi Bali, Ny. Putri Koster, yang hadir sebagai pembicara utama, menekankan pentingnya generasi muda mempelajari dan mengamalkan Pancasila sebagai falsafah hidup. Namun pesan paling mengendap justru datang dari cara forum ini berlangsung: bahwa Pancasila tak cukup dihafal, tapi harus dijalani dalam kebersamaan, dalam semangat duduk bersama dan bertukar pikiran. “Musyawarah adalah nilai luhur yang diwariskan para pendiri bangsa. Di tengah era kompetisi dan polarisasi, kita perlu menghidupkannya kembali,” ujar Janitra Rad Winatha, Ketua Panitia Dialog. Musyawarah memang terasa lamban di zaman serba cepat. Tapi justru dari kelambanannya lahir kekuatan. Ia mengajarkan sabar, mendengar, dan mencari titik temu, bukan titik menang. Forum yang dihadiri tokoh lintas usia ini menyuarakan bahwa perbedaan bukan alasan untuk bertikai, melainkan peluang untuk saling melengkapi. Ny. Putri Koster, yang juga alumni GMNI Bali, mengingatkan bahwa Pancasila bersifat dinamis. Ia bisa hidup di mana saja, termasuk dalam praktik lokal seperti Tri Hita Karana di Bali. “Kalau kita bisa memahami nilai-nilai lokal dan mengaitkannya dengan Pancasila, maka ia akan terus relevan,” katanya. Pancasila tidak bicara tentang siapa yang paling benar, melainkan bagaimana menjadi benar bersama. Dalam ruang itu, kata-kata mengalir bukan untuk membakar emosi, melainkan menyalakan nurani. Dan dari semua sila, musyawarah mungkin yang paling diam, tapi justru paling dalam. Ia tidak butuh teriakan, cukup ruang untuk mendengar. Sore itu, ketika acara usai, satu hal terasa mengendap: mungkin di zaman gaduh ini, yang paling revolusioner bukan teriak lantang, tapi mengajak duduk bersama. (sukadana/suteja)
Baca juga :
• Pancasila Harus Diteladankan Sejak Dini, Bukan Sekadar Diajarkan
• Jejak Lahirnya Pancasila
• Bawaslu Harus Mendidik, Bukan Hanya Menindak