Cermin Retak Keadilan Sosial
DUNIA ALW (52), seorang ayah dari Makassar, seolah runtuh ketika tak mampu membayar biaya sekolah anaknya. Di tengah kebingungan dan tekanan hidup, ia memilih jalan kelam: menjambret kalung emas seorang turis di Sanur, Denpasar, Sabtu, 24 Mei lalu. Ini bukan sekadar tindak kriminal, ini adalah jeritan putus asa dari seorang bapak yang ingin anaknya tetap bersekolah.
ALW mengaku ini kali pertama ia mencuri. Ia tidak datang ke Bali untuk berlibur, bukan pula untuk bekerja. Ia datang dengan satu tekad: mencari jalan agar anaknya tak putus sekolah. Ketika jalan terang tertutup, ia menabrak batas moral yang tak seharusnya dilintasi. Tragisnya, dari balik jeruji kini ia harus menanggung lebih dari sekadar hukuman—ia memikul rasa bersalah yang tak akan mudah hilang.
Kisah ini menyayat. Ia menampar nurani kita tentang jurang yang terus melebar antara mereka yang berjuang untuk bertahan hidup, dan mereka yang berfoya-foya atas nama kekuasaan. Ketika seorang ayah harus mencuri demi pendidikan anak, sementara para pejabat nyaman rapat di hotel berbintang, kita layak bertanya: di manakah keadilan sosial itu kini berdiri?
Cermin keadilan sosial kita retak. Retaknya bukan hanya karena kasus ALW, tapi karena banyak kisah serupa yang tak terdengar. Para pemilik jabatan kerap membungkus kemewahan dengan dalih formalitas, menyisakan perih bagi rakyat yang harus antre bantuan beras atau menggadaikan barang demi membayar SPP. Retakan itu makin menganga setiap kali uang rakyat dipakai untuk fasilitas yang tak menyentuh kehidupan rakyat.
Editorial ini tidak membela kriminalitas. Hukum tetap harus ditegakkan. Tapi, apakah cukup hanya menghukum tanpa memperbaiki akar persoalan? Apakah kita rela terus melihat orang-orang kecil terjerumus ke jurang hanya karena negara gagal hadir dalam hidup mereka?
Sudah saatnya anggaran negara diarahkan ke tempat yang tepat: pendidikan, lapangan kerja, dan jaring pengaman sosial. Bukan ke gedung megah, bukan ke perjalanan dinas, bukan ke proyek mercusuar yang asing bagi kehidupan warga.
Kasus ALW bukan berita biasa. Ia adalah alarm keras bagi semua pemangku kekuasaan. Rakyat tidak meminta belas kasihan, mereka hanya butuh keadilan. Dan keadilan sejati hanya mungkin hadir jika para penguasa benar-benar turun dari menara gading dan melihat kehidupan rakyat dari dekat—dengan mata yang jernih, dan hati yang tergetar.
Jangan tunggu cermin itu pecah sepenuhnya. (*)