Kerukunan, Nafas Panjang Bali
SAAT dunia mudah terbakar oleh sentimen identitas dan prasangka, Bali memilih menjaga satu hal yang tak bisa dibeli: kerukunan. Dalam Rapat Kerja Daerah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) se-Bali, Wakil Gubernur I Nyoman Giri Prasta menyampaikan pesan yang semestinya menjadi pegangan kita bersama: “Kerukunan adalah harga mati. Bali hidup dari pariwisata, dan pariwisata butuh kedamaian.”
Pernyataan itu bukan sekadar retorika. Ia mengandung kebenaran yang nyata: Bali tak bisa gaduh. Pulau ini menjadi rumah spiritual dan destinasi impian dunia justru karena bisa menyajikan harmoni dalam keberagaman. Bila pilar-pilar itu runtuh, maka runtuh pula banyak hal lain yang telah kita bangun dengan susah payah—mulai dari kepercayaan wisatawan, hingga stabilitas sosial yang menopang ekonomi warga.
Namun mari jujur: kerukunan bukanlah kondisi yang lahir otomatis hanya karena kita tinggal di Bali. Ia mesti dirawat. Dijaga. Disadari. Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet mengingatkan bahwa kerukunan itu “mahal”—dan seringkali baru kita sadari nilainya saat semuanya terlambat. Ini bukan pernyataan pesimistis, melainkan penegasan agar kita tak terlena oleh citra damai yang selama ini melekat, tapi mulai keropos dari dalam akibat kurangnya dialog dan edukasi lintas identitas.
Kerukunan bukan upacara, bukan simbol di baliho, bukan jargon di podium. Ia adalah kerja sunyi dari rumah ke rumah, dari komunitas ke komunitas, dari mulut yang saling menyapa, dan dari hati yang mau mendengar.
Bali hari ini memerlukan dua hal sekaligus: waspada dan bijak. Waspada terhadap arus ujaran kebencian, polarisasi, dan hoaks yang menyusup lewat dunia digital. Dan bijak untuk meresponsnya dengan memperkuat dialog, memperluas ruang perjumpaan, serta melibatkan generasi muda sebagai penjaga harmoni yang baru.
FKUB telah berjalan pada rel yang benar. Tapi mereka tidak bisa sendiri. Kerukunan adalah tanggung jawab kita semua. Karena ketika kerukunan menjadi kesadaran kolektif, barulah Bali benar-benar layak disebut Pulau Seribu Pura—bukan hanya karena jumlahnya, tapi karena semua warganya telah menjadi penjaga damai. (*)