Selembar yang Tertunda
SEPERTI kopi yang dibiarkan dingin karena terlalu banyak yang ingin disampaikan, beberapa percakapan tak selalu butuh keramaian untuk jadi penting.
Selasa pagi, AW kembali muncul di kantor yang juga tempat tinggal saya. Saya sempat lupa bahwa malam sebelumnya saya menjanjikan surat tugas untuknya. Ia datang dengan tenang, membawa dua nasi bungkus—satu untuk saya.
“Beli di Canggu tadi, Bli,” katanya.
Saya menyambut dengan senyum kecil, antara menyesal dan teringat bahwa beberapa janji memang kadang tertunda, bukan karena lalai, tapi karena terlalu banyak yang sedang dijaga.
Lalu ia menyodorkan tiga buku. Salah satunya adalah kumpulan esai karyanya sendiri.
“Buku ini, boleh dipinjam, Bli,” katanya pelan.
Saya mengangguk, membolak-balik sampul dan daftar isi. Tulisannya reflektif, personal, dan jujur—tentang jurnalisme dan hidup yang tak selalu mudah. Dalam diam, buku itu seperti menyentil saya. Saya merasa diingatkan akan niat lama: menyusun dan menerbitkan esai-esai di kolom Jeda menjadi sebuah buku.
Saya bilang padanya, “Saya sekarang sudah kumpulkan tiga puluh delapan tulisan.”
Ia menimpali, “Itu sudah cukup, Bli. Pasti jadi buku pertama. Dan nanti pasti ingin lanjut ke buku kedua.”
Kami sepakat melanjutkan obrolan sambil ngopi di luar, karena kopi di rumah sedang kosong dan rokok saya juga habis. Setelah saya mandi sebentar, kami berangkat naik motor masing-masing menuju warung kecil langganan saya—tempat biasa para pengemudi ojek online beristirahat.
Saya pesan kopi Bali. AW memesan es teh. Saya agak heran, tapi tak menanyakannya. Mungkin ia sedang menyeduh hari dengan cara lain.
Kami bicara panjang soal buku, soal semangat yang kadang padam, tapi tak pernah betul-betul hilang. Diam-diam AW telah menjadi mentor saya dalam rencana menerbitkan buku pertama. Meski usianya lebih muda, tapi dalam hal menulis buku, ia adalah senior saya. AW telah menerbitkan 14 buku—rata-rata dua setiap tahun.
Obrolan kami lalu mengalir ke hal yang lebih besar—tentang media hari ini, tentang PodiumNews. Saya utarakan kegelisahan saya: bagaimana media lokal makin terdesak oleh arus yang tak bisa diprediksi. Persaingan, ketidakpastian bisnis, dan penurunan kualitas jurnalisme jadi beban yang tak kecil.
“Saya lagi bereksperimen, mencoba merumuskan karakter media ini,” kata saya. “Kalau tidak, kita bisa stagnan. Bahkan tutup.”
Saya jelaskan bahwa PodiumNews tidak mengejar sensasi. Kami sedang membangun jurnalisme makna—yang pelan, tapi punya pijakan. Tentu tak mudah. Biaya besar, SDM terbatas. Tapi saya percaya, arah itu perlu dijaga.
Ia mendengar dengan tenang, seperti biasa. Lalu saya bercerita soal rencana yang lain, yang lebih jauh: membangun kedai kopi tematik di kampung, di tepi sawah. Namanya sudah ada: Redaksi.
“Saya sudah tanam beberapa pohon di lahannya. Biar lima tahun lagi sudah cukup rindang. Tempatnya akan gabungkan ruang terbuka dan nuansa ruang redaksi. Semacam tempat ngopi yang tetap mengajak berpikir,” kata saya.
Mungkin ia paham, bahwa yang sedang tumbuh bukan hanya daun dan akar—tapi juga harapan yang pelan-pelan sedang saya rawat.
“Semoga lagi lima tahun, pohon-pohon itu sudah tumbuh,” kata saya dalam hati.
Tak terasa, dua gelas kopi habis. Jam menunjukkan setengah dua siang. AW berpamitan karena ada janji lain. Ia pergi dengan sepeda motornya. Tak banyak kata yang tersisa.
Tapi saya tahu: pagi itu bukan sekadar soal nasi bungkus atau buku pinjaman. Itu adalah pagi yang menyelipkan keberanian—untuk menulis, menerbitkan, dan merawat satu demi satu yang belum selesai.
Karena kadang, menunda justru bentuk paling jujur dari kesadaran. Bahwa hidup punya musimnya sendiri. Dan tak semua yang baik, harus selesai tergesa.
Seperti kopi yang baik, beberapa niat memang perlu dibiarkan mengendap. Hingga waktunya tiba—dan kita benar-benar siap meneguknya. (*)
Menot Sukadana
Pernah muda, masih ngopi, belum pensiun dari mikir.