PADA Jumat (13/6/2025) pagi yang cerah, puluhan anak kecil berseragam hijau tua dan muda menyebar di tepian Pantai Cupel, Kecamatan Negara. Mereka bukan sedang bermain, bukan pula berolahraga. Di antara sela-sela batu besar revetmen, bocah-bocah dari Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 4 Jembrana memungut plastik satu per satu dari tumpukan semak dan pasir yang mereka sisiri dengan telaten. Tangan-tangan mungil itu tak ragu menyentuh kantong kresek kusam, botol plastik, atau pembungkus makanan yang terjepit di celah batu. Beberapa membawa kantong merah besar, sementara yang lain hanya mengandalkan semangat pagi dan dorongan dari para guru yang ikut turun tangan. Seorang guru tampak mengenakan topi putih dan kacamata hitam, membungkuk di antara anak-anak, turut membantu memungut. Di kejauhan, anak-anak lain tersebar di antara pohon dan lapangan rumput. Ada yang tertawa sambil menunjuk sampah tersembunyi. Ada yang melambaikan dua jari ke kamera, sambil tetap menggenggam plastik. Tidak ada rasa jijik di wajah-wajah mereka. Justru ada semacam kebanggaan kecil yang terpancar, seolah mereka sedang menjalankan tugas penting yang hanya mereka yang mengerti. “Ini sudah kami lakukan beberapa kali. Di sekolah juga ada gerakan meminimalkan plastik,” kata Kepala MIN 4 Jembrana, Sumarwan, yang ikut mendampingi kegiatan pagi itu. Menurut Sumarwan, bersih-bersih bukan sekadar program, tetapi bagian dari proses pendidikan karakter. Lingkungan hidup bukan hanya soal teori atau hafalan, tetapi tentang membentuk sikap dan kebiasaan sejak dini. “Kalau anak-anak sudah terbiasa peduli sejak kecil, itu akan melekat ke bawah sadar mereka. Di mana pun mereka berada, naluri untuk menjaga lingkungan akan muncul,” ujarnya. Kegiatan itu memang terlihat sederhana. Namun dampaknya tak bisa diremehkan. Di tengah ancaman sampah plastik yang mencemari laut dan pantai, kehadiran anak-anak ini menjadi pesan yang tak perlu disuarakan keras. Bumi masih bisa diselamatkan, jika sejak kecil anak-anak sudah diajak menyentuhnya dengan kepedulian. Tak ada seremoni. Tak ada pengeras suara. Hanya suara langkah kecil yang mendekati semak, suara plastik yang dilipat, dan tawa anak-anak yang tahu bahwa pagi itu mereka tidak sedang main-main. Mereka sedang membentuk kebiasaan baru. Menjadi bagian dari perubahan, walau dengan cara yang paling sederhana. Beberapa anak duduk beristirahat setelah kantongnya penuh. Yang lain tetap melanjutkan, menyusuri semak dan bebatuan, mencari potongan sampah yang tertinggal. Tidak satu pun dari mereka mengeluh. Seakan mereka tahu, tangan yang kotor masih bisa dicuci, tetapi kepedulian yang tidak ditanamkan sejak kecil jauh lebih sulit dibersihkan. Sumarwan hanya tersenyum melihat semua itu. “Mereka sedang belajar sesuatu yang tak ada di buku,” ucapnya pelan. “Tentang bumi, tentang tanggung jawab, dan tentang menjadi manusia yang tahu kapan harus memungut, bukan hanya membuang.” (gembong/suteja)
Baca juga :
• Ketika Api Datang, Ibu-Ibu Tak Lagi Diam
• Aksi Lucu Ogoh-ogoh PAUD Hibur Kasanga Festival
• Megibung, Saat Sang Wagub Tak Berjarak