Peran Akademisi: Pengerajin Pandan Ngis Berjuang Lepas dari Pengepul
UDARA di Dusun Pekarangan, Desa Ngis, Kabupaten Karangasem, terasa kering namun menyimpan kehangatan tradisi. Di teras-teras rumah yang sederhana, tangan-tangan cekatan puluhan perempuan bergerak ritmis, merajut helai-helai pandan berduri yang telah dikeringkan. Di desa yang berjarak 80 menit dari Denpasar ini, anyaman pandan bukan sekadar kerajinan, melainkan sebuah denyut nadi spiritual dan ekonomi. Mereka adalah pewaris yang menjaga Tikar Pandan Ngis, barang esensial yang wajib ada dalam setiap siklus upacara keagamaan di Bali.
"Sentra kerajinan pandan ini memang berlokasi di Dusun Pekarangan, dan kerajinan ini adalah warisan yang harus kita jaga," ungkap Perbekel (Kepala Desa) Desa Ngis, I Ketut Catur Mertayasa, menegaskan pentingnya usaha turun temurun ini.
Di Ujung Tanduk Ketergantungan
Warisan ini adalah penyelamat. Saat badai pandemi Covid-19 menghantam, ketika sektor pariwisata Bali lumpuh, anyaman pandan inilah yang menjadi sandaran utama, membuat dapur di hampir 90 persen rumah tangga di Pekarangan tetap mengepul.
Namun, ketahanan para ibu ini dibayangi dua ancaman serius.
Ancaman pertama datang dari bumi mereka sendiri. Lahan-lahan yang dahulu subur ditumbuhi pandan berduri kini beralih fungsi menjadi perumahan atau kebun pisang yang menaungi pandan dari sinar matahari. Demi menjaga tradisi dan penghidupan, para pengerajin kini harus berkelompok menyewa lahan hingga ke luar desa, sebuah ongkos yang tak kecil bagi ekonomi harian mereka.
Namun, dilema yang lebih tajam terletak pada ujung tombak penjualan.
Setiap tikar yang dibuat dengan proses rumit, dari memanen pandan berduri hingga menganyamnya berhari-hari, harus berakhir di tangan yang sama: pengepul. Penjualan masih bergantung pada para pedagang perantara ini, baik dari dusun sendiri maupun dari luar.
"Kami sudah nyaman karena hasilnya cukup untuk makan sehari-hari, pasti laku," tutur seorang ibu pengerajin. Di balik kenyamanan itu tersimpan risiko besar. Dengan hanya mengandalkan satu jalur pemasaran, kelompok pengerajin ini kehilangan suara mereka. Mereka tidak memiliki posisi tawar. Selalu ada kekhawatiran tentang `permainan` harga yang bisa sewaktu-waktu menjatuhkan nilai jual tikar pandan. Mereka terjerat dalam lingkaran pasar yang menciptakan ketergantungan, membatasi pendapatan, dan melumpuhkan keberanian untuk berinovasi.
Titik Balik Tiga Hari
Pergantian nasib mulai dirajut ketika Tim Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) dari Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) tiba di desa tersebut. Tim yang didukung Kemdiktisaintek ini tidak datang untuk memberi uang, melainkan memberi alat yang lebih berharga: pengetahuan dan visi.
Pendampingan yang berlangsung selama tiga hari, yaitu pada tanggal 30 Oktober, 31 Oktober, dan 2 November 2025, di Kantor Desa Ngis. Ini difokuskan pada upaya kolektif untuk merobohkan tembok-tembok keterbatasan.
Kepada para perempuan pengerajin, diajarkanlah tiga pilar transformasi. Pertama, adalah penguatan Manajemen Kelompok dan Perizinan Usaha untuk membangun pondasi bisnis yang legal. Kedua, pilar kunci untuk kemandirian: Literasi dan Pemasaran Digital, sebagai pintu gerbang untuk melepaskan diri dari dominasi pengepul. Terakhir, adalah Inovasi Produk Anyaman Pandan yang Berdaya Saing, membangun kembali kepercayaan diri pengerajin untuk membuat produk di luar tikar.
Sinergi dan Komitmen Naik Kelas
Kehadiran akademisi ini mendapat sambutan hangat, tidak hanya dari ibu-ibu pengerajin, tetapi juga dari pemerintah daerah. Kepala Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan (Diskopperindag) Kabupaten Karangasem, Drs Gede Loka Santika, melalui sambutan tertulis dibacakan Kepala Bidang UMKM Diskopperindag, Wayan Sadiada SH MAP, yang sekaligus membuka pelaksanaan pelatihan dan pendampingan, mengungkapkan komitmen tegas pemerintah daerah.
"Pemerintah daerah Karangasem akan bersinergi dengan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi, dalam usaha menjadikan berbagai potensi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Kabupaten Karangasem naik kelas dan mampu menjadi sandaran ekonomi rumah tangga di desa-desa," demikian pernyataan yang dibacakan saat pembukaan acara.
Kisah perempuan pengerajin di Ngis adalah cerminan isu kesetaraan gender yang masih relevan. Mereka harus berjuang ganda: mempertahankan tradisi sambil mengatasi keterbatasan akses pada pendanaan dan jaringan bisnis yang lebih besar.
Tantangan belum usai. Undiksha berkomitmen untuk melakukan pendampingan berkelanjutan, meyakini bahwa dengan terbentuknya ekosistem usaha yang kondusif melibatkan pemerintah desa, kabupaten, dan perguruan tinggi para perempuan pewaris tikar pandan ini akan benar-benar mampu merajut mimpi mereka untuk mandiri dan naik kelas.
(sukadana)