Search

Home / Khas / Ekonomi

Dari Sisa Makanan Jadi Harapan

Nyoman Sukadana   |    02 Oktober 2025    |   09:22:00 WITA

Dari Sisa Makanan Jadi Harapan
Rumah Muda Berdaya di Lumajang mengolah sisa limbah program MBG menjadi produk ramah lingkungan. (MC Kabupaten Lumajang)

AROMA lauk dan nasi dari dapur Program Makan Bergizi (MBG) biasanya menandai waktu istirahat bagi anak-anak sekolah. Namun di Lumajang, ada cerita lain yang tumbuh di balik panci dan sisa piring makan itu. Bagi sekelompok anak muda, limbah MBG bukan sekadar sisa. Mereka melihatnya sebagai bahan mentah untuk membangun masa depan yang lebih hijau.

Asriafi Ath Thaariq, pendiri Rumah Muda Berdaya, menjadi sosok yang menyalakan semangat itu. Ia mengajak para pemuda Lumajang memandang limbah makanan sebagai peluang, bukan masalah. “Sisa makanan seharusnya tidak langsung dibuang. Dari situ bisa lahir produk bernilai seperti eco enzyme yang bermanfaat untuk rumah tangga maupun pertanian,” ujarnya, Rabu (1/10/2025).

Ide sederhana itu berkembang menjadi gerakan kecil. Asriafi bersama rekan-rekannya mulai mengumpulkan limbah sisa MBG untuk diolah menjadi produk ramah lingkungan. Dari dapur sekolah dan tempat masak umum, mereka menampung potongan sayur, buah, hingga sisa nasi untuk difermentasi. Hasilnya adalah eco enzyme, cairan alami multifungsi yang bisa digunakan sebagai pembersih, pupuk cair, bahkan bahan dasar sabun.

“Dari limbah yang tadinya terbuang, kami justru menemukan peluang ekonomi baru,” kata Asriafi. Ia percaya, inovasi ini tidak hanya memberi nilai tambah, tetapi juga menanamkan kesadaran kepada generasi muda tentang pentingnya tanggung jawab terhadap lingkungan.

Kesadaran itu pula yang dirasakan Dzaki Fahruddin, petani muda dan aktivis lingkungan yang aktif mengolah limbah MBG menjadi kompos dan eco enzyme. Ia mengaku awalnya hanya ingin mengurangi sampah. Namun seiring waktu, hasil fermentasi dari dapur umum SPPG Yosowilangun justru membukakan jalan baru baginya. “Hasilnya bisa digunakan untuk menyuburkan tanaman. Sekarang saya mulai menjual sebagian produk eco enzyme ke petani sekitar,” ujarnya sambil menunjukkan botol hasil olahan.

Proses pembuatannya memang tidak rumit, tetapi membutuhkan kesabaran. Limbah makanan dicacah, lalu dicampur dengan air dan gula merah. Selama tiga bulan, bahan-bahan itu dibiarkan berfermentasi hingga menghasilkan cairan beraroma segar. Dari satu jeriken limbah, bisa dihasilkan beberapa liter eco enzyme yang bernilai ekonomi cukup tinggi.

Manfaatnya bukan hanya bagi lingkungan. Beberapa pemuda kini menjadikan kegiatan itu sebagai ruang belajar dan kolaborasi. Mereka saling berbagi pengalaman, saling mengajari teknik fermentasi, bahkan mulai memikirkan strategi pemasaran sederhana. “Kami belajar disiplin, kerja sama, dan menghargai proses. Eco enzyme ini bukan sekadar produk, tapi simbol perubahan,” kata Rifqi Hidayat, salah satu peserta pelatihan.

Siti Aisyah, peserta lainnya, mengaku awalnya ragu apakah limbah makanan bisa benar-benar dimanfaatkan. Namun setelah mencoba menggunakannya di kebun, ia terkejut melihat hasilnya. “Tanaman tumbuh lebih cepat dan subur. Saya juga bisa menghemat biaya pupuk,” ungkapnya dengan senyum bangga.

Gerakan kecil itu kini mulai menjalar ke beberapa desa lain. Para pemuda membentuk kelompok belajar lingkungan di bawah pendampingan Rumah Muda Berdaya. Pemerintah desa memberi dukungan dengan menyediakan wadah pengumpulan limbah MBG, sementara komunitas pemuda mengelola proses pengolahan.

Asriafi yakin, apa yang dilakukan anak-anak muda Lumajang ini bisa menjadi contoh nyata bagaimana perubahan besar dapat dimulai dari hal kecil. “Limbah makanan sering dianggap masalah. Padahal di tangan anak muda yang kreatif, ia bisa menjadi sumber ekonomi sekaligus alat pembelajaran,” katanya.

Kini, dari balik aroma nasi dan sayur di dapur Program Makan Bergizi, tumbuh harapan baru. Sisa makanan yang dulu tak berarti, kini menjadi simbol kepedulian dan inovasi generasi muda Lumajang untuk bumi yang lebih baik.

(riki/sukadana)

Baca juga :
  • Kehangatan Gubernur di Warung Nenek Rina
  • Tempe Tradisional Hairudin, Bertahan di Tengah Modernisasi
  • Desa Bali di Tanah Mandar Menuju Desa Wisata