Search

Home / Aktual / Ekonomi

Akademisi: Standar Kemiskinan BPS Sudah Ketinggalan Zaman

Editor   |    17 Juni 2025    |   18:12:00 WITA

Akademisi: Standar Kemiskinan BPS Sudah Ketinggalan Zaman
Ilustrasi: Warga miskin. (dok/podiumnews)

PODIUMNEWS.com, DENPASAR - Perbedaan tajam antara data kemiskinan versi Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) menuai sorotan publik. Menurut perhitungan World Bank berdasarkan standar purchasing power parities (PPP) 2021, jumlah warga miskin di Indonesia melebihi 190 juta jiwa. Sementara versi BPS per 2024 mencatat hanya sekitar 24 juta warga miskin.

Menanggapi hal itu, Prof Dr Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (UNAIR), menilai pendekatan BPS sudah tidak lagi relevan. Ia menyebut standar perhitungan garis kemiskinan yang mengacu pada kebutuhan 2.100 kalori per hari terlalu kuno dan tidak manusiawi.

“Sebenarnya perhitungan BPS sekarang ini sudah kuno. Harusnya yang dihitung itu bagaimana hidup dengan layak. Ya miskin tapi nggak layak sama saja menuju pada kematian,” ujar Rossanto dalam keterangan pers, Senin (16/6/2025).

Menurutnya, pemerintah perlu menaikkan standar kemiskinan agar mencerminkan kehidupan yang lebih bermartabat. Ia menekankan bahwa ukuran kemiskinan tidak seharusnya dibuat seminimal mungkin hanya untuk menekan angka statistik.

Alih-alih fokus pada kebutuhan dasar semata, Rossanto menilai penting untuk mempertimbangkan indikator yang lebih modern, termasuk kebutuhan nonmakanan seperti akses internet, pendidikan layak, dan mobilitas. Ia mengingatkan bahwa banyak komponen esensial kehidupan saat ini belum tercakup dalam metode penghitungan BPS.

“Kalau kita memang ingin menjadikan negara ini berkeadilan sosial, maka spektrum perlakuan terhadap warga miskin harus lebih luas. Jangan sampai kita bangga sebagai negara menengah ke atas, tapi standar kemiskinan kita tetap seperti negara miskin,” katanya.

Rossanto juga mendorong pemerintah untuk tidak malu mengakui kebutuhan perubahan. Menurutnya, pengakuan akan realitas sosial justru akan memperkuat dasar kebijakan ekonomi yang adil dan tepat sasaran.

Polemik standar kemiskinan ini menjadi penting, mengingat data tersebut menjadi dasar penentuan kebijakan bantuan sosial, anggaran perlindungan warga miskin, hingga program intervensi ekonomi.

(riki/suteja)

Baca juga :
  • Capem BPD Tabanan Usung Filosofi Lumbung Pangan Bali
  • IKM Denpasar Didorong Kuasai Desain dan Digital Marketing
  • Potensi PAD Rp3,1 Miliar dari 162 TKA di Buleleng