ADA cinta yang lahir dari tanah—karena di situlah tubuh dan sejarah disemai. Tapi ada juga cinta yang datang justru karena jarak, karena pertemuan yang tak direncanakan, dan akhirnya menjadi keterikatan yang lebih dalam dari asal-usul. Miroslaw Wawrowski mungkin tak pernah membayangkan bahwa tanah yang akan ia jaga dan cintai dengan setia justru bukan tanah kelahirannya. Ia lahir dan besar di Polandia, tumbuh bersama salju dan batu bata tua Eropa Timur. Tapi pada suatu titik, dalam sunyi yang tak kita tahu ceritanya, Bali datang menyentuh hatinya—dan tinggal. Tak banyak orang yang akan membangun rumah untuk sesuatu yang bukan miliknya. Tapi Miroslaw melakukan hal itu. Ia tidak sekadar mengagumi Bali seperti turis yang sesekali mampir dan memuji. Ia membawanya pulang. Bukan untuk dikurung, bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk diberi tempat yang utuh—sebuah taman budaya, seluas tiga hektar, berdiri di Slupsk, Polandia, dengan pura terbesar di Eropa sebagai jantungnya. Taman Budaya Bali Indah itu bukan sekadar karya arsitektur. Ia adalah pernyataan cinta diam-diam. Cinta yang tidak memerlukan tepuk tangan, tapi tetap bekerja. Cinta yang tidak ramai bicara, tapi tekun merawat. Miroslaw tidak melakukannya seorang diri. Ia mengajak seratus lebih pekerja dari Bali, membangun pura, rumah adat, wantilan, hingga ruang pameran. Ia melibatkan para dosen seni dari ISI Bali, agar bentuk dan napas bangunan itu benar-benar lahir dari kebudayaan, bukan sekadar tiruan. Dan semua itu dibangun jauh dari mata para wisatawan, jauh dari gegap gempita Bali—di sebuah kota kecil yang mungkin tak banyak disebut orang. Mungkin begini rupa cinta yang paling tulus: Datang dari jauh, tidak meminta balasan, tidak menuntut pengakuan—tapi tetap tinggal, dengan cara yang tenang. Albert Camus pernah menulis, “Kadang, bahkan di tanah yang asing, kita bisa mencintai sesuatu seolah milik kita sendiri—tanpa harus memilikinya.” Dalam setiap ukiran pura yang dibangunnya, dalam setiap detail rumah adat yang ditegakkannya, ada sesuatu yang tak bisa dibeli: niat untuk merawat. Dan bukankah merawat adalah bentuk paling jujur dari cinta? Goenawan Mohamad menulis, “Tanah air adalah tempat kita tidak dipertanyakan.” Dan begitulah kadang hidup mempertemukan kita dengan tempat yang tidak pernah kita sangka. Bukan karena garis keturunan, tapi karena arah hati. Bukan karena silsilah, tapi karena kasih yang tumbuh di perjalanan. Dan saat seseorang memilih untuk mencintai sesuatu yang tak pernah menjadi miliknya secara formal—di situlah kita belajar makna sejati dari pengabdian. Seperti secangkir kopi yang diseduh oleh tangan yang asing, namun terasa akrab karena disajikan dengan hati. Rasanya mungkin berbeda dari yang biasa kita minum, tapi hangatnya sama, tulusnya serupa, dan kesannya tinggal lebih lama. Bali, bagi Miroslaw, mungkin bukan tempat asalnya. Tapi jelas, itu adalah rumah yang ia temukan. Dan barangkali, setiap dari kita, suatu saat akan tiba di tempat yang tak kita kenal, tapi langsung kita tahu: inilah tempat jiwa kita pulang. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
Dan Miroslaw, tanpa riuh, telah mencintai Bali sedalam itu. Ia tak punya nama Bali. Tapi ia punya perhatian dan dedikasi yang mungkin tak dimiliki banyak orang yang lahir di tanah ini.
Dan di sinilah, makna rumah melampaui lokasi. Bali telah menjadi tanah air bagi Miroslaw, bukan karena ia lahir di sana, tapi karena ia tidak pernah berhenti menjaganya—dalam diam, dalam konkret, dalam kerja yang utuh.
• Saat Kata Tak Lagi Didengar
• Perjalanan Tanpa Nama
• Hak atas Rasa Aman