ADA satu hal yang sering luput dari perhatian publik saat bicara soal Denpasar: kota ini bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga etalase keberagaman yang hidup. Dari pura, gereja, vihara, masjid hingga tempat ibadah Konghucu, semua berdiri berdampingan dalam denyut urban yang harmonis. Di ruang inilah, pernyataan Wakil Wali Kota I Kadek Agus Arya Wibawa menemukan relevansinya: Denpasar ingin menjadi kota percontohan moderasi beragama di Indonesia. Pernyataan ini bukan sekadar jargon. Di tengah gelombang intoleransi dan provokasi digital yang kian mengikis kepercayaan antarumat, komitmen Denpasar untuk menjaga ruang moderasi adalah upaya yang strategis sekaligus berani. Terlebih, kegiatan seperti Sosialisasi Moderasi Beragama yang melibatkan FKUB, tokoh lintas iman, dan pemangku kepentingan lain menunjukkan langkah konkret membangun benteng dialog dan pemahaman bersama. Moderasi beragama bukan soal menyeragamkan keyakinan. Ia adalah seni hidup berdampingan, mengakui perbedaan tanpa harus merasa terancam olehnya. Dalam konteks ini, FKUB menjadi simpul penting. Perannya bukan hanya menjembatani, tetapi juga merawat ruang batin masyarakat yang selama ini telah hidup dalam semangat Vasudhaiva Kutumbakam, kita semua bersaudara. Namun, jalan moderasi tak selalu mudah. Ia menuntut keberanian untuk berdialog, kejelasan dalam aturan, serta keteladanan dari para pemimpin publik. Oleh karena itu, penyuluhan terhadap Peraturan Menteri Bersama tentang pendirian rumah ibadat bukan sekadar teknis administratif, tetapi cermin dari kedewasaan sosial. Ketika pendirian tempat ibadah didasari dialog dan saling pengertian, bukan hanya bangunan yang berdiri, tapi juga kepercayaan. Denpasar sedang menulis bab penting dalam sejarah kerukunan. Ia ingin menjadi kota yang tak hanya toleran dalam semboyan, tapi juga nyata dalam tindakan. Dalam semangat ini, kami percaya, keberagaman bukan masalah yang harus diatur, tetapi anugerah yang perlu terus dipelihara. Karena damai tak lahir dari keseragaman, tapi dari kemauan untuk saling memahami. Dan Denpasar, tampaknya, sudah memulai langkahnya. (*)
Baca juga :
• Bersih Itu Bukan Seremonial
• Remaja Tanpa Arah, Negara Tanpa Pelindung?
• Rasa Aman yang Terpinggirkan