DESA Pengambengan, sebuah desa pesisir di Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Di desa ini pula Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang sebentar lagi akan dikembangkan menjadi pelabuhan ikan internasional berada. Peningkatan status pelabuhan itu sudah masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto. Masterplan dengan dana pembangunan trilyunan rupiah, yang informasi terakhir menyebutkan sudah dalam proses lelang akan menjadi babak baru bagi Desa Pengambengan. Lazimnya pembangunan infrastruktur publik, perhitungan nilai serta dampak ekonomi menjadi pembicaraan yang paling menonjol, bahkan oleh masyarakat awam sekalipun. Tetapi ada pertanyaan besar yang sering dilupakan: Apakah warga Desa Pengambengan akan mendapatkan manfaat ekonomi paling besar dari pembangunan infrastruktur raksasa tersebut? Secara alamiah, keberadaan infrastruktur publik, apalagi sebesar pelabuhan ikan internasional akan membuka sumber ekonomi baru. Namun apakah distribusi sumber ekonomi tersebut berkeadilan bagi masyarakat lokal? Sumberdaya Manusia Keadilan distribusi ekonomi bagi warga lokal pada infrastruktur besar yang dikelola pemerintah maupun swasta, tidak bisa hanya menunggu tapi perlu gerakan dan perjuangan. Gerakan dan perjuangan yang utuh dan sistematis termasuk dengan memperbaiki kelemahan diri merupakan syarat memenangkan persaingan. Manfaat dan distribusi ekonomi yang berkeadilan bagi warga lokal mungkin bisa didorong dengan regulasi dari pemerintah, namun regulasi itu akan tumpul jika tidak diimbangi dengan ketersediaan sumberdaya manusia dari masyarakat lokal itu sendiri. Dalam konteks sumberdaya manusia Desa Pengambengan, jika mengacu dari data di kantor desa setempat terkait tingkat pendidikan formal (sekolah), perlu upaya dan kerja keras untuk menyediakan sumberdaya manusia yang mampu bersaing memperebutkan kue ekonomi dari pelabuhan ikan internasional. Dari 13.500 penduduk desa yang akan menjadi kawasan inti pelabuhan ikan internasional itu, jumlah warga yang hanya lulus Sekolah Dasar (SD) masih mendominasi sebanyak 2.352 orang. Jumlah itu jauh lebih besar dibanding yang lulus SMP 762 orang, SMA 619 orang, D2 10 orang, D3 10 orang, S1 51 orang dan S2 2 orang. Ironis memang, sebagai wilayah yang diakui sebagai salah satu sumber ekonomi di Kabupaten Jembrana ini, pendidikan formal belum menjadi prioritas. Bisa jadi karena faktor sumberdaya manusia ini juga yang menyebabkan sumber ekonomi laut tidak maksimal bisa mereka nikmati, sehingga angka kemiskinan di Pengambengan cukup besar yaitu mencapai 1.367 Kepala Keluarga (KK). Daya saing sumberdaya manusia itu juga yang menjadi faktor penghambat bagi warga Pengambengan untuk bekerja di sektor formal kelautan seperti Kantor Pelabuhan Perikanan Nusantara. Dalam level pegawai yang paling rendahpun, bisa dihitung dengan jari warga lokal yang diterima bekerja di institusi tersebut. Belum lagi di pabrik-pabrik yang banyak ada di desa tersebut. Warga lokal rata-rata hanya berstatus sebagai buruh. Posisi manajemen atau orang kantoran, lebih banyak berasal dari orang luar. Dan lagi-lagi persoalannya adalah sekolah. Seseorang bisa menempuh sekolah yang tinggi bukan hanya terkait kemampuan, tapi yang lebih penting adalah kemauan. Untuk akses lembaga pendidikan formal, tidak ada yang sulit bagi warga Desa Pengambengan. Bahkan di desa ini tersedia jenjang sekolah yang lengkap, khususnya yang berbasis madrasah mulai RA, MI, MTs sampai Aliyah. Jenjang pendidikan formal madrasah ini hanya beda penyebutan dengan TK, SD, SMP dan SMA. Kurikulum, bobot, lama pendidikan hingga kegunaan ijazahnya sama. Yang lebih fenomenal dari keberadaan lembaga pendidikan formal di Desa Pengambengan adalah Politeknik Negeri Kelautan. Berdiri megah, tapi lagi-lagi ironis, politeknik berasrama yang dibangun era Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti ini, hanya segelintir menarik minat warga lokal untuk kuliah. Sebagian besar mahasiswa berasal dari daerah lain. Otodidak Sebagai sentra dan barometer perikanan tangkap di Jembrana bahkan Bali, segala sisi terkait aktivitas sebagai nelayan warga Desa Pengambengan masih mengandalkan kemampuan yang diperoleh secara otodidak. Sebuah kemampuan yang di jaman sekarang disebut tradisional. Nyaris tidak ada teknologi modern yang mereka manfaatkan. Alat tangkap, pola tangkap termasuk pemanfaatan hasil tangkap, adalah peninggalan sistem yang turun temurun. Tidak ada Global Positioning System (GPS) untuk navigasi apalagi fish finder sebagai alat mendeteksi keberadaan ikan. Mereka tahu teknologi peralatan melaut, namun belum menjadi pengetahuan. Padahal pengetahuan dan bukan sekedar hanya tahu, menjadi syarat utama memanfaatkan teknologi. Tanpa pengetahuan teknologi itu juga yang membuat Balai Riset Dan Observasi Laut (BROL) di Desa Perancak, Jembrana kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat lokal. Padahal lembaga milik pemerintah ini dilengkapi teknologi canggih yang bahkan untuk ukuran Asia Tenggara. Yang merasakan manfaat paling besar dari BROL justru nelayan luar Jembrana yang sudah mengaplikasikan teknologi untuk melaut. BROL memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai penyedia data dan informasi sumber daya laut. Dengan berbagai kompleksitas masalah internal itu, saya jadi bertanya dengan kekhawatiran, apakah warga Desa Pengambengan siap untuk bersaing mendapatkan keadilan ekonomi atas keberadaan pelabuhan ikan internasional? Saya bayangkan jika instensitas sentuhan mereka terhadap teknologi kelautan sama dengan yang mereka lakukan terhadap media sosial, saya bayangkan mayoritas nelayan berpendidikan SMA bahkan sarjana, saya bayangkan karena pendidikan yang tinggi mereka memegang kemampuan teknologi dan kekuatan intelektual. Dan apakah semua itu hanya bayangan, harapan bahkan khayalan? Gembong Ismadi (Jurnalis tinggal di Jembrana, Bali)
Baca juga :
• Sampah Plastik
• Bali Aman untuk Siapa?
• Pancasila: Bakti Kesetiaan Tanpa Tanya