DATA terbaru dari Kementerian Kesehatan RI benar-benar mencengangkan dan harus menjadi alarm keras bagi kita semua. Peningkatan tajam kasus Infeksi Menular Seksual (IMS) di kalangan remaja, khususnya kelompok usia 15-19 tahun, bukan hanya sekadar angka statistik. Ini adalah darurat kesehatan masyarakat yang berpotensi mempercepat laju penyebaran HIV di Indonesia, sebuah ancaman laten yang terus membayangi. Bagaimana tidak? Dalam tiga tahun terakhir, kasus sifilis, gonore, dan infeksi HPV meroket signifikan, terutama di perkotaan. Tercatat lebih dari 23 ribu kasus sifilis tahun lalu, dengan mayoritas adalah sifilis dini. Angka 10.506 kasus gonore dan 77 kasus sifilis kongenital—yang menular dari ibu ke bayi—menunjukkan betapa masifnya penyebaran ini hingga ke generasi mendatang. Ini adalah cerminan rapuhnya benteng proteksi kesehatan reproduksi di tengah-tengah remaja kita. Seperti yang ditekankan oleh Direktur Penyakit Menular Kemenkes, dr. Ina Agustina, IMS bukan lagi masalah personal, melainkan pintu gerbang utama penularan HIV. Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa Indonesia masih berada di peringkat ke-14 dunia untuk jumlah Orang dengan HIV (ODHIV) dan ke-9 untuk infeksi baru. Dengan perkiraan 564 ribu ODHIV pada 2025, dan hanya 63 persen yang mengetahui statusnya, potensi ledakan kasus semakin nyata. Apalagi, seperti di Papua, penularan HIV bahkan sudah merambah ke populasi umum, bukan lagi terbatas pada kelompok kunci. Melihat kondisi ini, upaya masif dan terstruktur mutlak diperlukan. Edukasi reproduksi yang komprehensif dan skrining dini adalah kunci, sebagaimana disarankan oleh dr. dr. Hanny Nilasari dari FKUI-RSCM. Banyak IMS tidak bergejala pada perempuan, sehingga seringkali terlambat ditangani, berujung pada komplikasi serius seperti radang panggul, kehamilan ektopik, bahkan infertilitas. Remaja adalah kelompok rentan, kerap kurang informasi, dan sayangnya, banyak yang terlibat dalam aktivitas seksual tanpa perlindungan memadai. Kementerian Kesehatan sudah berupaya dengan menggalakkan kampanye "ABCDE": Abstinence (tidak berhubungan seks), Be faithful (setia pada pasangan), Condom (gunakan kondom), Drugs (hindari narkoba suntik), dan Education (edukasi). Layanan tes HIV dan IMS juga sudah diperluas hingga ratusan kabupaten/kota. Ini adalah langkah maju, namun implementasinya harus lebih gencar dan adaptif dengan dinamika kehidupan remaja saat ini. Target eliminasi HIV dan IMS pada 2030 dengan pendekatan 95-95-95 (95 persen ODHIV tahu statusnya, 95 persen berobat, 95 persen mencapai supresi virus) adalah ambisi yang mulia. Namun, ini tidak bisa dicapai hanya oleh pemerintah. Perlu kolaborasi solid dari keluarga, sekolah, komunitas, tokoh agama, hingga media massa. Orang tua harus lebih terbuka bicara soal kesehatan reproduksi, sekolah harus mengintegrasikan edukasi yang relevan, dan masyarakat harus menghapus stigma agar individu berani mencari pertolongan. Mari kita sadari, bahwa kesehatan reproduksi remaja adalah investasi masa depan bangsa. Mengabaikan peningkatan IMS dan HIV di kalangan mereka berarti kita sedang menanam bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menggerogoti bonus demografi kita. Saatnya bergerak bersama, mengedukasi, melindungi, dan menyelamatkan generasi muda dari ancaman ini. (*)
Baca juga :
• Menertibkan, Bukan Menghukum
• Denpasar dan Jalan Moderasi
• Bersih Itu Bukan Seremonial