Search

Home / Aktual / Gaya Hidup

Stoikisme ala Hindu Bali: Merangkul Ketenangan Lewat Mulat Sarira

Editor   |    22 Juni 2025    |   08:32:00 WITA

Stoikisme ala Hindu Bali: Merangkul Ketenangan Lewat Mulat Sarira
ILUSTRASI: Seorang pria Bali merenung di depan meja tulis, dikelilingi ketenangan vila dan sawah malam. Dalam senyap, ia berdialog dengan dirinya sendiri, mencari arah di tengah hiruk-pikuk zaman. (podiumnews)

DALAM derasnya ritme zaman yang serba cepat, tak sedikit dari kita yang merindukan ketenangan. Di tengah deru digital dan kecemasan akan masa depan, manusia modern mencari pegangan untuk tetap waras, tenang, dan utuh. Menariknya, dua ajaran tua dari belahan dunia yang berbeda, Stoikisme dari Yunani dan Mulat Sarira dari Hindu Bali, menawarkan jalan yang serupa: kembali menengok ke dalam diri.

Pelajaran dari Stoa

Stoikisme berakar di Athena, Yunani, sejak awal abad ke-3 SM. Filsafat ini dikenal luas melalui tokoh-tokohnya seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Intinya sederhana namun dalam: manusia tidak bisa mengendalikan peristiwa luar, tetapi sepenuhnya bisa mengatur respons dan sikap terhadap peristiwa itu.

Praktik reflektif menjadi landasan Stoik. Menulis jurnal setiap malam, menyiapkan niat di pagi hari, dan melatih kejernihan berpikir adalah bentuk-bentuk latihan harian yang mereka anjurkan. Tujuannya bukan sekadar menjadi kuat secara mental, tetapi hidup selaras dengan kebajikan seperti bijaksana, adil, berani, dan mampu mengendalikan diri.

Dari praktik ini muncul sebuah prinsip: tenang bukan berarti pasif. Sebaliknya, ketenangan lahir dari penguasaan diri yang utuh. Dalam istilah Stoik, ketenangan batin disebut ataraxia, yaitu ketenangan yang lahir dari kebebasan batin terhadap gejolak dunia.

Cermin Diri dalam Tradisi Bali

Jauh dari Stoa Poikile di Athena, masyarakat Bali mengenal prinsip serupa dalam Mulat Sarira. Istilah ini secara harfiah berarti "melihat ke dalam diri". Ia adalah bagian dari laku spiritual dalam ajaran Hindu Bali yang menekankan pentingnya keselarasan antara pikiran (manacika), ucapan (wacika), dan perbuatan (kayika), sebuah konsep yang dikenal sebagai Tri Kaya Parisudha.

Melalui Mulat Sarira, seseorang diajak untuk mengevaluasi diri secara jujur. Apa yang menggerakkan kita hari ini? Adakah niat yang keruh, kata yang menyakiti, atau tindakan yang menyimpang dari dharma? Emosi-emosi seperti kemarahan, keserakahan, atau keangkuhan dikenal sebagai klesha dan menjadi bahan bakar refleksi untuk pembenahan diri.

Namun, Mulat Sarira bukan sekadar introspeksi. Ia adalah upaya aktif untuk menyucikan batin, memperbaiki karakter, dan hidup harmonis dalam bingkai Tri Hita Karana, yakni tiga jalan kebahagiaan yang mencakup hubungan dengan sesama, alam, dan Tuhan.

Dua Jalan, Satu Tujuan

Ketika dipandang berdampingan, Stoikisme dan Mulat Sarira menunjukkan benang merah yang kuat. Keduanya mengajarkan hal serupa bahwa satu-satunya yang benar-benar bisa dikendalikan adalah diri sendiri. Dan dari pengendalian itulah, ketenangan sejati bisa ditemukan.

Baik melalui jurnal malam ala Stoik maupun pemantauan Tri Kaya Parisudha dalam Mulat Sarira, kesadaran diri menjadi kunci. Kedua pendekatan ini tidak menjanjikan dunia yang ideal, tetapi menawarkan cara untuk menjelajah dunia batin yang lebih tertata, bijaksana, dan damai.

Stoikisme dan Mulat Sarira sama-sama menyimpan pesan universal. Kita tidak perlu menunggu dunia menjadi tenang agar bisa merasa damai. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk melihat ke dalam, menerima apa adanya, dan perlahan memperbaiki diri.

Kearifan yang Terus Relevan

Dalam hidup yang kerap bising oleh tuntutan dan distraksi, ajaran kuno ini mengajak kita untuk berhenti sejenak. Menyapa diri sendiri. Mengendapkan pikiran. Menata langkah.

Pada akhirnya, seperti kata Marcus Aurelius, “Kebahagiaan hidup bergantung pada kualitas pikiranmu.” Dan seperti sabda para tetua Bali, “Sesungguhnya musuh terbesar bukan di luar sana, tetapi dalam dirimu sendiri.”

Refleksi harian, kesadaran, dan niat baik yang terus diperbarui adalah bentuk kecil dari perjuangan menjadi manusia seutuhnya. Entah disebut Stoik, Mulat Sarira, atau nama lainnya, jalan menuju ketenangan akan selalu bermuara pada satu hal: diri sendiri. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Wisatawan Stoik Eropa Mencari Kedamaian di Bali
  • Senja di Soan Galuh, Momen Sakral dari Celah Karang
  • Gerakan Advokat Berlari Jadi Gaya Hidup Baru