Search

Home / Aktual / Gaya Hidup

Wisatawan Stoik Eropa Mencari Kedamaian di Bali

Editor   |    22 Juni 2025    |   09:50:00 WITA

Wisatawan Stoik Eropa Mencari Kedamaian di Bali
ILUSTRASI: Wisatawan mancanegara mengikuti sesi meditasi di alam terbuka kawasan Ubud, Bali. Aktivitas seperti ini menjadi favorit para stoic tourist Eropa yang mencari ketenangan batin dan kedalaman makna dalam perjalanan mereka. (podiumnews)

BALI selama ini dikenal sebagai destinasi wisata tropis yang menggoda: pantai berkilau, pesta malam, dan surga kuliner. Namun, di balik riuh rendah pariwisata massal, ada sekelompok wisatawan yang datang bukan untuk bersenang-senang secara instan, melainkan untuk menemukan sesuatu yang lebih dalam, yaitu ketenangan, makna, dan kebahagiaan batin. Mereka dikenal sebagai stoic tourists.

Istilah ini mungkin terdengar asing. Namun dalam kajian pariwisata mutakhir, stoic tourism mulai diperbincangkan sebagai bentuk perjalanan yang berakar pada ajaran filsafat Stoik. Sebuah pandangan hidup kuno yang mengajarkan kebahagiaan bukan terletak pada kesenangan lahiriah, melainkan dalam keseimbangan jiwa, pengendalian diri, dan kedamaian pikiran. Dalam konteks wisata, stoic tourism mendorong pengalaman perjalanan yang mendalam, reflektif, dan spiritual. Bali dengan lanskap budaya dan spiritualitasnya yang kaya menjadi tempat yang sempurna bagi wisatawan semacam ini.

Sebuah penelitian dari Universitas Udayana yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional Sains dan Teknologi (SENASTEK) pada November 2023 lalu, mencoba menelusuri fenomena ini secara ilmiah. Penelitian tersebut mengambil sampel seratus wisatawan asal Eropa yang pernah berkunjung ke Bali dan menganalisis preferensi serta karakteristik mereka. Hasilnya cukup menarik. Jerman muncul sebagai negara asal terbesar dari kelompok wisatawan ini, diikuti oleh Belanda dan Prancis. Mayoritas dari mereka tergolong Generasi Z dan Y, berusia antara 11 hingga 42 tahun, dan didominasi oleh wisatawan lajang yang datang berdua bersama pasangan tanpa mengikuti paket tur.

Berbeda dari wisatawan pada umumnya, para stoic tourist ini justru mencari pengalaman yang tenang dan bermakna. Mereka menghindari keramaian, lebih suka berjalan sendiri di antara sawah, mengunjungi pura tua yang sepi, atau duduk diam di pinggir pantai sambil merenungkan hidup. Bagi mereka, perjalanan bukan soal tempat yang dikunjungi, melainkan soal bagaimana tempat itu mampu berbicara kepada jiwa.

Dari sisi layanan wisata, para wisatawan ini menunjukkan ketertarikan tinggi pada aktivitas-aktivitas yang bersifat kontemplatif. Kunjungan ke situs cultural heritage menjadi pengalaman yang paling disukai. Museum, situs sejarah, dan kegiatan budaya lokal memberi ruang bagi mereka untuk memahami nilai-nilai yang lebih dalam. Tak kalah penting adalah kegiatan spa dan wellness seperti pijatan, perawatan tubuh, hingga meditasi yang dipandang sebagai bagian dari penyembuhan holistik, bukan sekadar memanjakan diri. Selain itu, pertunjukan seni, tarian tradisional, dan festival budaya juga dinikmati karena dianggap mengandung filosofi yang menyentuh.

Ada pula daya tarik spiritual yang kuat. Yoga, meditasi, dan aktivitas healing menjadi pilihan populer. Bali dengan segala atmosfer spiritualnya menawarkan pengalaman unik yang membuat mereka merasa lebih terhubung dengan diri sendiri, bahkan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa stoic tourist bukan sekadar fenomena baru, melainkan potensi pasar wisata yang patut diperhatikan. Mereka tinggal lebih lama di Bali, umumnya lebih dari dua minggu, dan memiliki ketertarikan terhadap kualitas pengalaman daripada kemewahan fasilitas. Maka, alih-alih mengejar jumlah, pelaku pariwisata di Bali disarankan untuk menjaga dan mengembangkan kualitas layanan berbasis budaya dan spiritual yang otentik. Sebab, dalam era di mana banyak orang mulai lelah dengan hiruk pikuk dunia, wisata yang menawarkan ruang hening dan makna akan menjadi kebutuhan yang tak tergantikan.

Bali tak hanya bisa jadi destinasi yang indah, tapi juga tempat pulang bagi jiwa-jiwa yang mencari damai. Para stoic tourist telah menunjukkan bahwa pariwisata bisa menjadi jalan untuk menyentuh ke dalam, bukan hanya ke luar. (*)

(Menot Sukadana)

 

Baca juga :
  • Stoikisme ala Hindu Bali: Merangkul Ketenangan Lewat Mulat Sarira
  • Senja di Soan Galuh, Momen Sakral dari Celah Karang
  • Gerakan Advokat Berlari Jadi Gaya Hidup Baru