Search

Home / Kolom / Editorial

Bali, Ruang Pulang bagi Jiwa

Editor   |    23 Juni 2025    |   07:08:00 WITA

Bali, Ruang Pulang bagi Jiwa
Editorial. (Podiumnews)

PARIWISATA Bali tak pernah kekurangan sorotan. Pantainya digandrungi, malamnya gemerlap, dan kulinernya memanjakan. Namun, di sela keramaian yang tak kunjung surut itu, muncul arus kecil yang bergerak senyap: para wisatawan yang datang bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk menemukan makna. Mereka dikenal sebagai stoic tourists, rombongan baru yang lebih tertarik pada keheningan ketimbang hingar bingar.

Fenomena ini bukan isapan jempol. Sebuah penelitian dari Universitas Udayana tahun lalu menunjukkan bahwa wisatawan asal Eropa, terutama Jerman, Belanda, dan Prancis, hadir ke Bali dengan motivasi yang berbeda dari umumnya. Bukan untuk foto-foto di tempat populer, melainkan untuk menyepi di pura tua, berjalan di pematang sawah, atau duduk diam di pantai sambil mendengar suara batin sendiri. Mereka berasal dari generasi muda, datang berdua tanpa rombongan, dan menolak paket tur yang seragam.

Panduan mereka bukan brosur perjalanan, melainkan filsafat hidup kuno: Stoisisme. Sebuah ajaran dari zaman Romawi yang menekankan keseimbangan jiwa, kendali diri, dan kebijaksanaan dalam menghadapi dunia. Bagi para stoic tourists, perjalanan bukan tentang tempat, tapi tentang keheningan yang bisa menyapa jiwa. Museum, tarian tradisional, hingga spa dan yoga dipandang bukan sebagai hiburan, tapi bagian dari penyembuhan dan penyadaran diri.

Potensi segmen wisata ini penting untuk dicermati. Mereka tinggal lebih lama, menghindari wisata massal, dan cenderung menghargai nilai lokal. Maka menjadi relevan untuk bertanya: apakah Bali masih bisa menawarkan ruang hening bagi mereka? Ataukah kita terlalu sibuk mengejar angka kunjungan hingga lupa menjaga kualitas ruang batin yang dahulu menjadikan Bali istimewa?

Pemerintah daerah dan pelaku industri seharusnya menangkap isyarat ini. Bahwa pariwisata bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi juga kebudayaan dan spiritualitas. Alih-alih terus memperluas infrastruktur demi menarik sebanyak mungkin pengunjung, lebih bijak kiranya memperkuat ekosistem wisata yang berakar pada budaya, kesadaran ekologis, dan pengalaman otentik. Bali tak harus menjadi semua hal bagi semua orang. Ia cukup menjadi tempat pulang bagi jiwa-jiwa yang ingin tenang.

Dalam dunia yang semakin bising, Bali bisa menjadi ruang jeda. Tempat di mana manusia bisa berhenti sejenak dari hiruk-pikuknya dan kembali menemukan dirinya sendiri.

Itu bukan mimpi. Itu peluang. (*)

Baca juga :
  • Darurat IMS-HIV Remaja
  • Menertibkan, Bukan Menghukum
  • Denpasar dan Jalan Moderasi