Search

Home / Aktual / Ragam

Rp2 Triliun dari Tambang Ancam Karang Raja Ampat

Editor   |    23 Juni 2025    |   12:44:00 WITA

Rp2 Triliun dari Tambang Ancam Karang Raja Ampat
Kawasan Raja Ampat. (shutterstock)

DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Surga bawah laut Indonesia kembali menghadapi ancaman serius. Kali ini, bukan karena sampah plastik atau perubahan iklim, melainkan aktivitas pertambangan nikel yang mulai merambah kawasan konservasi Raja Ampat, Papua Barat.

Kawasan yang selama ini menjadi ikon ekowisata dunia itu kini terancam tercemar oleh eksploitasi sumber daya mineral. Meski disebut bernilai strategis secara ekonomi, banyak pihak mempertanyakan apakah nilai itu sepadan dengan risiko ekologis yang akan ditanggung generasi mendatang.

“Pendapatan dari tambang bisa mencapai Rp2 triliun per tahun, belum termasuk penyerapan tenaga kerja hingga lima ribu orang. Tapi jika kerusakan lingkungan tidak dikelola, dampaknya bisa jauh lebih besar,” ujar Prof Dr Rossanto Dwi Handoyo, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, dalam keterangannya, Senin (23/6/2025).

Tambang nikel di Raja Ampat disebut berperan penting dalam rantai pasok global terutama untuk produksi baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat. Namun, posisi strategis itu dibayangi kerusakan yang tak mudah diperbaiki: kerusakan ekosistem laut, pencemaran habitat biota, dan hilangnya pendapatan dari pariwisata laut.

Potensi degradasi juga dapat mengancam populasi ikan pelagis dan biota terumbu karang, yang selama ini menjadi penyangga utama kehidupan nelayan setempat. Jika dibiarkan, kerugian tak hanya dirasakan oleh lingkungan, tapi juga ekonomi lokal dalam jangka panjang.

Tak hanya soal kerusakan fisik, aktivitas pertambangan di kawasan ikonik ini dinilai berisiko merusak reputasi Indonesia di mata dunia. Isu lingkungan kini menjadi pertimbangan utama dalam kerja sama internasional, termasuk perdagangan, pariwisata, dan investasi hijau.

“Ketidaksinkronan antar lembaga soal izin tambang bisa membuat investor ragu. Negara terlihat tidak serius menjaga komitmen lingkungan,” ujar Rossanto.

Ia menekankan, hilirisasi tambang seharusnya tidak menjadi pembenar untuk eksploitasi sembarangan. “Kita ingin ekonomi bertumbuh, tapi bukan dengan mengorbankan laut yang selama ini menjadi kebanggaan dunia. Kalau karang rusak, wisatawan hilang, nelayan kehilangan hidupnya, dan kita hanya mewarisi jejak kerugian,” tambahnya.

Saat ini, sejumlah organisasi lingkungan dan akademisi mendesak pemerintah mengevaluasi kembali izin tambang yang terbit di kawasan tersebut. Mereka juga mendorong adanya moratorium pertambangan di wilayah konservasi laut hingga kajian dampak lingkungan dilakukan secara komprehensif.

(riki/suteja)

Baca juga :
  • JMSI Bahas Masa Depan Media Siber di Tengah Badai Disinformasi
  • Robot Humanoid Unjuk Gigi di Pabrik, Tak Ganti Manusia?
  • AI Tiru Gaya Ghibli: Etika dan Batas Kreasi?