DUNIA mungkin tak sedang terbakar seluruhnya, tapi aroma asapnya mulai terasa sampai ke ruang-ruang yang jauh dari pusat kobaran. Perang yang berlangsung di satu belahan bumi, bisa melahirkan luka di belahan lain. Di Gaza, di Teheran, di Tel Aviv, senjata berbicara lantang. Tapi getarnya sampai ke Bali, ke Jakarta, bahkan ke desa-desa yang tak tahu siapa pemicu awalnya. Bukan karena peluru sampai ke sini, melainkan karena dampaknya menembus batas: harga energi melambung, wisatawan menunda kunjungan, ketakpastian ekonomi menjalar. Kita semua, perlahan, ikut membayar harga dari perang yang tidak kita mulai. Di linimasa media sosial, warganet Indonesia tak kalah panas. Bukan dengan bom atau misil, melainkan dengan sumpah serapah dan makian. Mereka terbelah dalam dukungan, saling menuduh, saling mencaci. Seolah menjadi juru bicara dari negara-negara yang bahkan tak mengenal nama mereka. Ironisnya, pertengkaran itu terjadi bukan antara dua bangsa, melainkan sesama saudara sebangsa. Yang satu mengangkat doa untuk negeri A, yang lain untuk negeri B. Tapi doa itu sering kali diselipkan dengan kutukan pada sesama. Di tengah kabut ini, sulit membedakan siapa yang benar, siapa yang memulai, siapa yang lebih pantas dibela. Perang bukan hanya tentang dua pihak yang bertikai—ia tentang dampak yang menjalar jauh hingga ke sisi-sisi yang diam. Seperti bunyi pepatah lama yang acap dikaitkan dengan Bertrand Russell, perang tidak menentukan siapa yang benar—hanya siapa yang tersisa. Maka dalam dunia yang digiring untuk memilih pihak, kebenaran jadi barang langka. Yang tersisa hanyalah puing-puing saling benci, dan reruntuhan kepercayaan. Filsuf Immanuel Kant pernah membayangkan perdamaian abadi (perpetual peace) sebagai cita-cita umat manusia. Tapi ia juga sadar, bahwa damai bukanlah kondisi alami; ia harus diperjuangkan terus-menerus. Sayangnya, hari ini, damai tidak laku dijual. Ia tidak menarik klik, tidak viral, tidak mengundang debat. Yang laris justru kemarahan, kegaduhan, dan klaim kebenaran tunggal. Padahal, seperti diingatkan Albert Einstein—kita tak bisa menyerukan damai sambil terus mempersiapkan perang. Lalu kita kembali ke pertanyaan paling sunyi dari semua ini: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari perang? Jawabannya bukan rakyat, bukan mereka yang kehilangan rumah, bukan juga yang harus berhemat karena gas mahal atau tiket pesawat melonjak. Yang diuntungkan adalah industri perang, politik kepentingan, dan algoritma media sosial yang mengubah amarah menjadi trafik. Kita semua hanya penonton yang membayar mahal tiketnya—dalam bentuk kecemasan, keterpecahan, dan kehilangan arah. Di negeri ini, yang jauh dari medan tempur, perang tetap menyisakan luka. Tidak dengan darah, tapi dengan polarisasi yang terus dipupuk. Warganet Indonesia sibuk dalam perang kata-kata—dari kutukan, label kafir, tuduhan antek, hingga doa-doa yang saling meniadakan. Padahal mereka adalah satu bangsa. Barangkali inilah harga sebuah perang: bukan hanya infrastruktur yang hancur, bukan hanya korban yang berjatuhan, tetapi juga nalar yang ditanggalkan dan persaudaraan yang dikorbankan. Maka andai ada yang harus dibela hari ini, bukan hanya negara-negara jauh di sana. Tapi juga ketenangan di rumah sendiri. Keutuhan nalar. Dan harapan agar anak-anak kita tumbuh di dunia yang lebih waras, lebih sabar, dan lebih memilih damai—meski ia tak segemerlap heroisme perang. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Masakan dan Waktu
• Jalan Raya, Kepala yang Sesak
• Menepi Sebelum Dikejar Waktu