Podiumnews.com / Kolom / Editorial

Data yang Dijual, Martabat yang Dicuri

Oleh Editor • 09 Juli 2025 • 23:16:00 WITA

Data yang Dijual, Martabat yang Dicuri
Editorial. (Podiumnews)

PENGUNGKAPAN praktik judi online jaringan Kamboja yang beroperasi dari sebuah rumah di Denpasar menyisakan kegelisahan yang tak bisa diabaikan. Bukan hanya soal kejahatan siber dan transaksi lintas negara, tetapi lebih dalam: tentang bagaimana data pribadi warga miskin bisa dengan mudah dibeli, dimanipulasi, dan dijadikan alat kejahatan.

Polda Bali mengungkap bahwa para pelaku menyasar warga berpenghasilan rendah, menawarkan uang tunai Rp500.000 sebagai imbalan untuk membuka rekening atas nama mereka. Tanpa sadar, rekening itu kemudian menjadi medium transaksi dalam praktik judi online lintas negara. Bagi sebagian warga, iming-iming uang cepat di tengah kesulitan ekonomi menjadi pintu masuk ke dalam jerat digital yang jauh lebih rumit dari yang mereka bayangkan.

Kita patut mengapresiasi langkah cepat aparat kepolisian. Namun lebih dari itu, pengungkapan ini harus menjadi momen reflektif bagi semua pihak. Kasus ini menunjukkan betapa keroposnya kesadaran masyarakat tentang perlindungan data pribadi. Lebih menyedihkan lagi, betapa kondisi ekonomi yang lemah bisa membuat seseorang rela menukarkan identitas hukumnya demi uang tunai sesaat.

Di balik kejahatan ini, tersimpan luka sosial yang dalam. Bahwa kemiskinan bukan hanya membuat seseorang rentan lapar, tetapi juga mudah ditipu, dibeli, dan dimanipulasi. Ketika martabat warga dikompromikan hanya demi uang receh, ini bukan sekadar soal hukum, tetapi soal kemanusiaan.

Pemerintah daerah dan pusat harus membaca ini sebagai peringatan keras. Edukasi tentang keamanan data pribadi tidak bisa hanya berhenti di seminar atau baliho. Harus ada pendekatan langsung ke akar rumput: kampanye dari pintu ke pintu, literasi digital yang membumi, serta perlindungan hukum yang aktif dan responsif.

Di saat yang sama, penegakan hukum terhadap pelaku utama, terutama mereka yang mengendalikan operasi dari luar negeri, tidak boleh lunak. Jejak digital tidak mengenal batas negara. Maka kerja sama antarnegara, koordinasi lintas institusi, dan keberanian politik dibutuhkan untuk menindak dengan tuntas.

Editorial ini juga menyapa kita semua: berhati-hatilah. Jangan pernah menganggap enteng sebuah foto KTP atau informasi pribadi. Sebab di era ini, data pribadi bisa lebih berbahaya daripada kehilangan dompet. Ia bisa menjerumuskan, menodai nama, bahkan menyandera hidup seseorang tanpa ia sadari.

Lebih dari sekadar penggerebekan, kasus ini adalah cermin. Sejauh mana kita sudah menakar harga sebuah identitas, dan seberapa besar negara ini hadir untuk melindungi martabat warganya. (*)