DI KEDALAMAN sekitar 30 meter, tempat cahaya meredup dan suara menghilang, Sugianto bergerak perlahan sambil menggenggam panah ikan. Ia bukan nelayan biasa. Sejak sekolah dasar, ia sudah belajar menyelam di perairan Gilimanuk dengan menggunakan kompresor sebagai suplai oksigen. Namun dari semua yang pernah ia temui di dasar laut, satu hal yang selalu ia hindari: bayangan bangkai kapal ferry yang diam tak bergerak di dasar Selat Bali. “Saya selalu menghindar jika saat menyelam melihat bayangan bangkai kapal,” katanya, Kamis (10/7/2025). “Perasaan ngeri itu muncul tiba-tiba. Merinding. Lebih baik saya pindah lokasi.” Bagi nelayan selam seperti Sugianto, bangkai kapal bukan sekadar benda mati. Ia menyebut ada aura yang terasa bahkan dari jarak 20 meter. Entah dari bekas tragedi yang tak terlihat, entah dari sunyi yang menekan saat menyelam sendirian. “Kalau sudah merinding begitu, enggak bisa fokus lagi,” ucapnya pelan. Nelayan lain, Darman, juga memilih menjauh. Ia paham betul bahwa saat menyelam di kedalaman, pikiran harus tenang. “Kalau sudah takut, otomatis akan berpengaruh terhadap tubuh kita. Dan itu bisa berakibat fatal,” ujarnya. Menurut cerita para nelayan, setidaknya ada enam titik bangkai kapal ferry yang masih teronggok di dasar laut perairan Gilimanuk. Mereka menyebutnya “kuburan kapal”. Di titik-titik itu, nelayan selam cenderung tidak menetap lama. Bagus, nelayan penyelam lainnya, bahkan dengan nada ringan mengatakan, “Saya lebih tenang bertemu hiu daripada bangkai kapal.” Bagi mereka, bertemu hiu adalah hal biasa. Hiu tak pernah menyerang, hanya kadang mengejar hasil tangkapan. Tapi bangkai kapal? Tidak mengejar, tidak bergerak—namun justru membuat tubuh bergetar. “Takutnya beda,” kata Bagus, lalu diam sejenak. Kisah ini datang di tengah pencarian jenazah korban KMP Tunu Pratama Jaya yang tenggelam di Selat Bali, pekan lalu. Di perairan yang sama, nelayan juga yang menemukan jasad para korban. Ada yang mengambang, ada yang tersangkut. Bagi mereka, laut adalah ruang kerja sekaligus ruang batin. Di balik wajah para nelayan selam Gilimanuk, ada ketegangan yang tak selalu terlihat. Mereka menyelam bukan dengan peralatan selam modern, tapi dengan kompresor, naluri, dan keberanian. Dan di antara sunyi dasar laut itu, kadang yang paling menakutkan bukanlah makhluk buas—melainkan jejak diam dari kapal yang tak pernah pulang. (gembong/sukadana)
Baca juga :
• Tips Hindari Pencurian Data Jalur Update Story