Daya Saing yang Tersesat
INDONESIA sedang kehilangan momentum. Laporan IMD World Competitiveness Ranking 2025 menjadi tamparan yang tidak bisa dianggap biasa: peringkat daya saing Indonesia merosot dari posisi 34 ke 47 dunia. Ini bukan sekadar penurunan angka, melainkan cermin buram kegagalan mempercepat reformasi birokrasi, inovasi, dan kualitas sumber daya manusia.
Di tengah hingar-bingar narasi pembangunan, sinyal-sinyal kemunduran justru datang dari sektor yang selama ini dijadikan etalase: infrastruktur dan investasi. Jalan tol dibentang, bandara dibuka, pelabuhan diresmikan. Tapi apa hasilnya? Banyak infrastruktur megah hanya menjadi simbol kosong. Bandara sepi penumpang, jalan tol berkualitas rendah, dan pelabuhan tidak menggerakkan logistik secara signifikan. Alih-alih meningkatkan daya saing, pembangunan fisik itu justru mengaburkan fakta bahwa produktivitas dan efisiensi masih menjadi barang mewah dalam birokrasi kita.
Seperti dikatakan Guru Besar FEB Universitas Airlangga, Prof. Rossanto Dwi Handoyo, birokrasi Indonesia masih dilihat sebagai tidak efisien, tidak luwes, dan dalam banyak kasus masih korup. Para investor membaca sinyal itu dengan cermat. Mereka tidak terpesona oleh angka-angka seremonial atau gunting pita proyek. Mereka membaca iklim bisnis dari hal yang lebih mendasar: kemudahan izin, kecepatan layanan, dan transparansi tata kelola. Dan dalam hal ini, Indonesia masih tertinggal.
Kita juga tertatih dalam inovasi. Anggaran riset dan pengembangan masih terpuruk di bawah 0,5 persen dari PDB. Jumlah paten stagnan. Kolaborasi kampus-industri minim. Dan kualitas SDM belum selaras dengan kebutuhan industri. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi kita rapuh, bertumpu pada eksploitasi sumber daya, bukan pada penciptaan nilai tambah.
Semua ini menunjukkan bahwa pembangunan tanpa reformasi struktural adalah jalan buntu. Kita sibuk membangun gedung, tapi lupa membangun manusia. Kita bangga pada panjang jalan tol, tapi lupa pada rendahnya daya saing talenta muda. Kita terus bicara “Indonesia Emas 2045”, tapi fondasi menuju ke sana masih retak di banyak tempat.
Editorial ini bukan ajakan untuk sinisme. Tapi dorongan untuk melihat cermin. Karena tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa reformasi yang konsisten. Tidak ada daya saing tanpa kesungguhan membenahi tata kelola, memperkuat kapasitas riset, dan memuliakan birokrasi sebagai pelayan publik, bukan pedagang kekuasaan.
Negara tidak bisa terus bersembunyi di balik baliho proyek dan narasi besar. Waktu terus berjalan. Jika kita gagal membaca alarm ini, Indonesia akan terjebak dalam jebakan negara menengah. Gemerlap di permukaan, rapuh di dalam. (*)