FENOMENA meningkatnya rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) lulusan sarjana tanpa diiringi peningkatan daya saing yang memadai layak menjadi bahan perenungan serius bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Fenomena ini, yang kini banyak disebut sebagai inflasi IPK, bukan sekadar soal angka yang terus merangkak naik, tetapi tentang kredibilitas sistem pendidikan itu sendiri. Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Airlangga, Prof Dr Tuti Budirahayu, menyebut gejala ini sebagai cerminan dari kapitalisme pendidikan. Dalam logika pasar, perguruan tinggi dituntut untuk menerima sebanyak-banyaknya mahasiswa dan meluluskan sebanyak-banyaknya pula. Jika tidak, akreditasi bisa terancam. Bila terlalu banyak mahasiswa gagal atau mendapat nilai rendah, institusi pendidikan bisa dinilai gagal oleh sistem itu sendiri. Dalam suasana semacam ini, kualitas bisa tergeser oleh kuantitas. Proses belajar yang seharusnya mendidik secara utuh malah terjebak dalam mengejar skor akademik. Maka tak heran jika banyak lulusan yang memiliki IPK tinggi namun lemah dalam keterampilan praktis, kepemimpinan, dan kemampuan berpikir kritis. Kompetensi yang justru dicari di dunia kerja. Namun editorial ini tidak serta merta menuding para dosen atau institusi pendidikan sebagai pihak yang kehilangan integritas. Seperti disampaikan Prof Tuti, mayoritas dosen masih memegang nilai-nilai kejujuran dan profesionalisme. Yang perlu dibenahi adalah sistem penilaian dan insentif institusional yang terlalu berpihak pada statistik, bukan kualitas proses. Salah satu jalan keluar adalah memperkaya metode evaluasi pendidikan. IPK memang penting, tapi seharusnya hanya menjadi satu dari sekian indikator. Aktivitas kemahasiswaan, pengalaman organisasi, rekam jejak kepemimpinan, serta portofolio karya nyata semestinya mendapat bobot dalam sistem penilaian. Sistem Kredit Prestasi (SKP) bisa menjadi pijakan awal menuju model pendidikan yang lebih menyeluruh dan adil. Editorial ini juga ingin menyampaikan harapan kepada para mahasiswa. IPK tinggi bukan jaminan kesuksesan. Ia hanya menjadi pantulan awal dari tanggung jawab akademik, bukan satu-satunya ukuran kemampuan. Tugas mahasiswa bukan sekadar meraih nilai baik, tetapi membentuk kapasitas diri yang utuh dan kontekstual dengan kebutuhan zaman. Sudah waktunya sistem pendidikan tinggi kita meletakkan kembali esensinya. Mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan membangun ilusi angka. Jika tidak, inflasi IPK akan menjadi cermin dari krisis kejujuran. Baik dalam sistem, maupun dalam kesadaran kolektif kita sebagai bangsa. (*)
Baca juga :
• Mitigasi Banjir Bali
• Pendidikan di Tengah Banjir
• Alarm Alam Bali