PEMERINTAH melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menegaskan bahwa hingga saat ini tidak ada kurikulum baru yang diberlakukan di sekolah-sekolah Indonesia. Kurikulum 2013 (K13) dan Kurikulum Merdeka tetap menjadi acuan pembelajaran, bahkan untuk wilayah 3T. Namun penegasan ini justru membuka pertanyaan lama yang belum kunjung dijawab secara tuntas: sejauh mana arah kebijakan pendidikan nasional dipahami oleh guru dan sekolah di lapangan? Klarifikasi bahwa deep learning bukan kurikulum baru, melainkan pendekatan pembelajaran, patut diapresiasi sebagai upaya meredam kebingungan publik. Tetapi itu saja belum cukup. Dalam konteks pendidikan yang terus berubah cepat, komunikasi kebijakan seharusnya tidak berhenti pada penegasan administratif. Ia harus menjawab kebutuhan paling mendasar: kejelasan, kesederhanaan, dan keberlanjutan. Jika deep learning diadopsi dari praktik negara-negara maju seperti Kanada dan Swedia, maka tantangan terbesar bukan pada metodenya, melainkan pada daya dukung implementasinya. Bagaimana pelatihan bertahap untuk guru bisa menjangkau seluruh Indonesia dalam waktu yang realistis? Apakah 200 narasumber nasional cukup untuk menyentuh ribuan sekolah dengan realitas sangat beragam? Kurikulum Merdeka dan pendekatannya menjanjikan pembelajaran yang menyenangkan, bermakna, dan kontekstual. Namun jika tidak dibarengi ekosistem yang mendukung, dari pelatihan guru, kesesuaian materi, hingga dukungan teknologi, yang terjadi justru fragmentasi pemahaman, bahkan kelelahan birokratis di lapangan. Ironisnya, istilah seperti “profil pelajar Pancasila” dan “delapan dimensi kompetensi” justru lebih sering bergema dalam dokumen kebijakan ketimbang dalam ruang kelas di pelosok negeri. Fenomena schooling without learning yang disebut oleh BSKAP bukan hal baru. Tapi jika diagnosisnya sudah tepat, maka pertanyaan selanjutnya adalah: kapan resep penyembuhannya benar-benar dijalankan secara konkret dan terukur? Pendidikan nasional tidak butuh jargon baru, melainkan arah yang teguh dan komunikasi yang jernih. Kurikulum boleh tetap, metode boleh berkembang, tetapi yang paling dibutuhkan para guru dan siswa adalah kepastian dan kejelasan. Tanpa itu, pendidikan hanya akan menjadi ruang formal yang sibuk mengejar perubahan tanpa sempat merasakan makna. (*)
Baca juga :
• Pers yang Profesional, Demokrasi yang Bernyawa
• Bullying Bukan Tradisi Sekolah
• Bali dan Bayang-Bayang Risiko Wisata