Search

Home / Kolom / Editorial

Bullying Bukan Tradisi Sekolah

Nyoman Sukadana   |    21 Juli 2025    |   20:53:00 WITA

Bullying Bukan Tradisi Sekolah
ilustrasi: Seorang siswa berjalan menunduk di koridor sekolah, sementara dua siswa lain mengejek dan menertawakannya dari kejauhan. (podiumnews)

MASA Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) jenjang SMP di Kota Denpasar kembali digelar dengan semarak. Tema tahun ini menekankan pentingnya pendidikan inklusif dan seruan tegas: stop bullying. Namun, setiap tahun tema serupa digaungkan, dan setiap tahun pula kita masih membaca kabar tentang anak-anak yang takut ke sekolah karena diintimidasi oleh teman sekelas, atau bahkan oleh sistem yang diam.

Kita perlu mengatakan ini dengan jernih: bullying bukan bagian dari proses tumbuh dewasa. Ia bukan pembelajaran mental, bukan bumbu persahabatan, dan sama sekali bukan tradisi. Bullying adalah bentuk kekerasan. Ia menyisakan luka, menumpuk trauma, dan sering kali menghancurkan masa depan anak dalam diam.

Sayangnya, banyak sekolah masih menganggap bullying sebagai persoalan kecil antar-anak, cukup diselesaikan dengan permintaan maaf atau petuah singkat dari guru. Lebih dari itu, ada pula yang membungkam korban demi menjaga "nama baik sekolah".

Di sinilah sesungguhnya peran MPLS menjadi sangat penting. Ia bukan sekadar ajang mengenalkan gedung sekolah atau menyanyikan yel-yel OSIS. MPLS harus menjadi ruang penegasan nilai: bahwa tidak ada tempat bagi kekerasan, pelecehan, atau ejekan sistematis di lingkungan pendidikan. Bahwa setiap anak, dengan segala perbedaan dan keunikan, berhak merasa aman dan diterima.

Pemerintah Kota Denpasar telah mengusung visi Denpasar Kreatif Berwawasan Budaya. Tapi budaya macam apa yang ingin diwariskan jika sekolah masih membiarkan rasa takut tumbuh di antara bangku-bangku kelas?

Tugas dunia pendidikan bukan sekadar mencerdaskan, tapi juga melindungi. Setiap kepala sekolah, guru, dan pejabat pendidikan bertanggung jawab penuh menciptakan sistem yang cepat merespons laporan, berpihak pada korban, dan memberi ruang aman bagi setiap anak untuk tumbuh tanpa rasa cemas.

Kita tidak butuh lebih banyak slogan, melainkan lebih banyak keberanian untuk bertindak. Karena satu anak yang dibully, adalah satu luka dalam tubuh pendidikan kita. Dan jika kita terus membiarkannya, kita tengah membangun sistem yang gagal memahami nilai paling dasar dari sebuah sekolah: tempat semua anak berhak belajar dan merasa aman. (*)

Baca juga :
  • Bali dan Bayang-Bayang Risiko Wisata
  • Belajar Tanpa Makna, Kurikulum Tanpa Kejelasan?
  • Pendidikan: Komitmen yang Tak Boleh Goyah