Search

Home / Kolom / Editorial

Bali dan Bayang-Bayang Risiko Wisata

Nyoman Sukadana   |    20 Juli 2025    |   21:38:00 WITA

Bali dan Bayang-Bayang Risiko Wisata
Ilustrasi kecelakaan paralayang di Pantai Bali, mengingatkan pentingnya standar keselamatan dalam aktivitas wisata ekstrem. (podiumnews)

DUA wisatawan asal Korea Selatan meninggal dunia saat melakukan paralayang di Pantai Tanah Barak, Kutuh, Kuta Selatan, Kamis siang, 17 Juli 2025. Mereka jatuh saat mencoba mendarat di bibir pantai setelah arah angin berubah. Keduanya sempat dievakuasi, namun nyawa tidak tertolong. Tragedi ini bukan yang pertama, dan mungkin belum yang terakhir.

Di balik gemerlap promosi wisata Bali yang tak pernah padam, ada bayang-bayang risiko yang kerap luput dari sorotan. Aktivitas ekstrem seperti paralayang, diving, arung jeram, hingga sky cycling kini menjamur di berbagai sudut pulau, menawarkan pengalaman unik bagi wisatawan. Namun di saat yang sama, pertanyaan mendasar muncul: sejauh mana keselamatan para pengunjung benar-benar dijamin?

Kasus demi kasus yang menimpa wisatawan, baik karena cuaca, human error, maupun kelalaian teknis, sering kali hanya menjadi berita sesaat. Pemerintah daerah sibuk memoles citra “Bali ramah wisatawan”, tetapi jarang terdengar langkah konkret untuk memperkuat regulasi, audit penyelenggara aktivitas wisata ekstrem, atau membangun sistem mitigasi risiko yang profesional.

Kematian dua wisatawan di Tanah Barak seharusnya menjadi peringatan keras bahwa keselamatan tidak boleh menjadi anak tiri dalam industri pariwisata. Jika hanya mengandalkan narasi keindahan alam dan keramahan budaya, maka ketika tragedi datang, yang terpukul bukan hanya korban dan keluarganya, melainkan juga reputasi Bali di mata dunia.

Dalam era digital seperti sekarang, satu kecelakaan bisa viral dalam hitungan menit. Dunia menyaksikan dan publik menilai. Sekali citra Bali tercoreng, butuh waktu lama untuk memulihkannya. Karena itu, promosi wisata harus berjalan seiring dengan komitmen kuat terhadap keselamatan.

Editorial ini tidak bertujuan menyalahkan siapa pun. Justru sebaliknya, ia mengetuk kesadaran kita semua bahwa industri pariwisata yang berkelanjutan tidak hanya soal menarik wisatawan datang, tetapi juga memastikan mereka pulang dengan selamat, membawa kenangan baik, bukan duka lara.

Sudah saatnya Bali mengevaluasi ulang pendekatan wisatanya. Bukan dengan mengurangi atraksi, melainkan dengan memperkuat fondasi: regulasi, pengawasan, pelatihan, dan tanggung jawab. Karena pariwisata yang baik, adalah pariwisata yang aman. (*)

Baca juga :
  • Pers yang Profesional, Demokrasi yang Bernyawa
  • Bullying Bukan Tradisi Sekolah
  • Belajar Tanpa Makna, Kurikulum Tanpa Kejelasan?