Search

Home / Kolom / Jeda

Mengukur Kemajuan dari Trotoar

Nyoman Sukadana   |    09 Agustus 2025    |   22:48:00 WITA

Mengukur Kemajuan dari Trotoar
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

BALI punya banyak cara untuk mengukur kemajuan. Ada yang melihatnya dari jumlah hotel baru yang menjulang di tepi pantai, dari arus turis yang tak putus-putus di bandara, atau dari proyek jalan yang terus dibangun untuk “melancarkan lalu lintas” meski ujungnya kadang hanya memindahkan macet dari satu titik ke titik lain. Namun, ada satu indikator sederhana yang jarang dibicarakan: trotoar.

Trotoar adalah wajah kota yang paling jujur. Dari sana, kita tahu seberapa serius pemerintah melindungi pejalan kaki, memberi ruang untuk interaksi manusia, dan membangun peradaban yang ramah bagi semua, bukan hanya untuk kendaraan bermotor. Seperti kata Jane Jacobs, penulis dan aktivis perkotaan: Jalan dan trotoarnya, tempat umum utama sebuah kota, adalah organ paling vital dari kota tersebut.

Sayangnya, di banyak titik Bali, trotoar masih sering menjadi korban kompromi: dipersempit untuk parkir, dirampas untuk lapak pedagang, atau sekadar dibiarkan rusak karena tak dianggap prioritas. Sementara di kota-kota yang benar-benar memikirkan keberlanjutan, trotoar justru menjadi simbol kesetaraan ruang publik.

Kita sering lupa bahwa hak berjalan kaki bukanlah kemewahan. Ini adalah hak dasar warga kota, sama pentingnya dengan hak mendapatkan udara bersih atau air minum layak. Seperti yang pernah diucapkan filsuf Yunani kuno Aristoteles: Manusia secara kodrat adalah makhluk sosial; masyarakat adalah sesuatu yang mendahului individu. Trotoar adalah ruang fisik yang memungkinkan interaksi sosial itu terjadi dengan aman dan nyaman.

Bayangkan seorang anak SD yang berjalan pulang sekolah sendirian di pinggir jalan raya tanpa trotoar. Bayangkan seorang lansia yang harus melangkah di aspal, berhadapan dengan lalu lintas yang tidak ramah. Dari situ kita sadar, ukuran kemajuan bukan hanya angka PDRB atau jumlah investasi, tetapi juga seberapa aman warganya berjalan kaki di kotanya sendiri.

Bali punya modal besar untuk memperbaiki ini. Tradisi banjar yang kuat, solidaritas warga, hingga nilai Tri Hita Karana sebenarnya sangat sejalan dengan konsep kota yang ramah pejalan kaki. Trotoar bisa menjadi simbol nyata hubungan harmonis manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.

Perubahan memang butuh keberanian politik. Butuh kepala daerah yang berani memutuskan bahwa satu jalur kendaraan bisa dikorbankan demi trotoar yang lebih lebar. Butuh regulasi tegas untuk mencegah trotoar disalahgunakan. Dan yang terpenting, butuh kesadaran warga untuk menghargai trotoar sebagai milik bersama.

Seperti kata Mahatma Gandhi: Ukuran sejati dari suatu masyarakat dapat ditemukan pada cara mereka memperlakukan anggotanya yang paling rentan. Di jalanan, pejalan kaki adalah kelompok paling rentan. Saat kita melindungi mereka, kita sedang mengukur diri kita sendiri sebagai masyarakat.

Trotoar bukan sekadar jalur semen di tepi jalan. Ia adalah refleksi moral dan kompas kemajuan kita. Jika suatu hari Bali bisa membuat semua warganya merasa aman melangkah, maka saat itu kita bisa berkata: kita benar-benar sudah maju. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Nama yang Jarang Disebut
  • Lebih dari Sekadar Bertahan
  • Menyusun Ulang Jejak