PAGI belum sempurna menjadi terang ketika langkah-langkah itu sudah meninggalkan rumah. Udara masih dingin, lampu jalan belum semuanya padam. Di tangan mereka, ada sapu panjang, serokan, dan keranjang plastik besar. Di pundak mereka, kadang ada karung, kadang ada lelah yang tidak pernah benar-benar diistirahatkan. Mereka adalah tukang pembersih jalan dan pengangkut sampah, orang-orang yang datang sebelum kota bangun dan pulang ketika kita sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Setiap hari, mereka mengangkat sisa hidup kita: bungkus makanan, kertas, plastik, puntung rokok, bahkan bau yang tidak kita inginkan. Mereka membersihkan jalan agar langkah kita ringan. Mereka mengosongkan tong sampah agar rumah dan kantor kita tetap nyaman. Semua itu mereka lakukan dalam diam, tanpa kamera, tanpa siaran langsung, tanpa pujian di media sosial. Nama mereka jarang disebut. Kita tahu merek ponsel terbaru, hafal nama pejabat yang sering tampil di televisi, tetapi mungkin tidak pernah tahu siapa yang setiap pagi menyapu trotoar di depan kantor atau rumah kita. Seperti kata filsuf Prancis Simone Weil, “Perhatian adalah bentuk kedermawanan yang paling langka dan paling murni.” Perhatian itu jarang kita berikan kepada mereka, padahal perhatian sederhana bisa menjadi pengakuan yang berarti. Aku pernah berbincang singkat dengan seorang bapak pengangkut sampah. Ia bercerita tentang rutinitasnya: berangkat pukul tiga pagi, mengelilingi beberapa jalan, lalu berakhir di tempat pembuangan akhir. “Kalau terlambat sedikit, sampah sudah menumpuk, baunya bisa kemana-mana,” katanya sambil tersenyum. Senyum itu tipis, tetapi tulus. Ia bercerita sambil sesekali menarik napas panjang, seperti menelan lelah yang sudah menjadi teman sehari-hari. Aku pulang dengan pikiran yang berat, menyadari betapa kita jarang memikirkan rantai kerja panjang yang membuat kota ini tetap layak ditinggali. Filsuf Tiongkok kuno Lao Tzu pernah berkata, “Para pemimpin terbaik adalah mereka yang hampir tidak dikenal oleh rakyatnya; ketika pekerjaan mereka selesai, orang berkata: kami melakukannya sendiri.” Dalam arti yang sederhana, para penyapu jalan dan pengangkut sampah adalah “pemimpin” dalam menjaga kehidupan kota. Mereka bekerja tanpa pamrih dan ketika pekerjaan mereka selesai, orang merasa itu semua terjadi begitu saja. Mereka tidak meminta kita menghafal nama mereka. Tetapi barangkali, kita bisa mulai dengan menyapa ketika berpapasan. Mengucapkan terima kasih. Mengangkat kepala, bukan hanya menunduk pada layar ponsel. Karena penghargaan tidak selalu berbentuk uang atau piagam, kadang cukup berupa pengakuan bahwa mereka ada dan pekerjaan mereka penting. Bayangkan jika suatu hari mereka berhenti bekerja. Sampah akan menumpuk, bau akan menguasai udara, dan kita akan segera menyadari betapa berharganya peran mereka. Sayangnya, rasa kehilangan sering baru datang ketika sesuatu yang kita anggap biasa tidak lagi ada. Bagi sebagian orang, pekerjaan mereka mungkin dianggap kecil. Namun kota yang indah dan nyaman tidak dibangun oleh pidato atau slogan, melainkan oleh kerja-kerja senyap seperti itu. Kerja yang senyap sering kali lahir dari hati yang besar dan tekad yang kuat. Sebelum tidur malam ini, cobalah ingat wajah seseorang yang membersihkan jalan yang kita lewati atau mengosongkan bak sampah di sudut gang. Sebut namanya dalam doa. Karena seperti kata Kahlil Gibran, “Kerja adalah cinta yang tampak.” Dan cinta itu, setiap pagi, menyapu jalan kita bersih. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Mengukur Kemajuan dari Trotoar
• Lebih dari Sekadar Bertahan
• Menyusun Ulang Jejak