Search

Home / Kolom / Editorial

Api Perjuangan Bali

Nyoman Sukadana   |    11 Agustus 2025    |   06:12:00 WITA

Api Perjuangan Bali
Monumen perjuangan di Bali menjadi pengingat bahwa kemerdekaan lahir dari pengorbanan rakyat. (podiumnews)

DELAPAN puluh tahun telah berlalu sejak Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Namun gema perjuangan itu tidak pernah berhenti di Jakarta. Gelombang semangatnya menyapu seluruh penjuru Nusantara, termasuk Bali, yang mencatatkan babak heroik dan pengorbanan tanpa batas agar merah putih berkibar di Tanah Air.

Dari Puputan Klungkung 1908, ketika Dewa Agung Jambe II memilih bertempur sampai titik darah penghabisan, hingga Puputan Margarana 1946 yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai, sejarah Bali diwarnai pilihan untuk mempertahankan kehormatan dan kemerdekaan meski harus dibayar dengan nyawa. Pilihan itu bukan sekadar taktik militer. Pilihan itu adalah pernyataan moral yang terus menggema.

Monumen Bajra Sandhi di Denpasar berdiri sebagai pengingat bahwa perjuangan rakyat Bali bukan hanya milik masa lalu. Diorama di dalamnya menuturkan babak perlawanan dari masa kerajaan hingga era revolusi. Monumen Puputan Klungkung dan Taman Puputan Margarana memelihara ingatan kolektif. Setiap orang yang datang diundang untuk merenung bahwa kemerdekaan adalah hasil dari tekad yang tidak tergoyahkan.

Namun kemerdekaan tidak hanya lahir dari nama besar yang tercatat dalam arsip resmi. Di balik peristiwa monumental, ada pahlawan tak tercatat yang bekerja dan berkorban dalam senyap. Di desa desa Bali, warga biasa menjadi kurir, penyedia logistik, dan prajurit tak resmi yang bergerilya di hutan dan ladang. Banyak di antara mereka tidak pernah menerima penghargaan formal, tetapi perannya menentukan arah perlawanan.

Kisah itu hadir pula di masa kini dalam bentuk yang berbeda. Pekerja kebersihan yang memulai hari sebelum fajar untuk memastikan jalan jalan kota bersih jelang perayaan 17 Agustus. Petani yang menjaga kesuburan tanah. Guru yang menanamkan nilai kebangsaan pada muridnya. Semua adalah bagian dari perjuangan berkelanjutan untuk menjaga makna kemerdekaan.

Sejarawan I Ketut Ardhana menegaskan bahwa sejarah perjuangan di Bali menunjukkan keterlibatan semua lapisan masyarakat. Tidak ada perlawanan yang berhasil tanpa dukungan kolektif. Pandangan ini mengajarkan bahwa kemerdekaan adalah hasil kerja bersama dan hanya dapat dipertahankan melalui kerja bersama pula.

Menghargai jasa pahlawan berarti memastikan kisah mereka tetap hidup. Itu dapat dilakukan dengan mengunjungi monumen, membaca ulang sejarah, dan menuturkannya kepada generasi muda. Lebih dari itu, menghargai berarti menghubungkan semangat pengorbanan masa lalu dengan tantangan masa kini. Kemerdekaan bukan sekadar status politik. Kemerdekaan adalah kondisi yang harus diisi dengan pembangunan, persatuan, dan kesejahteraan.

Menjelang HUT RI ke 80, Bali mengingatkan kita bahwa api perjuangan tidak pernah padam. Api itu menyala di monumen dan di desa, di upacara kenegaraan dan di pekerjaan sehari hari yang sering luput dari perhatian. Kemerdekaan adalah warisan yang harus dirawat dengan ketekunan, keberanian, dan rasa hormat yang sama besarnya seperti para pejuang merawat tanah air ini dengan darah dan nyawa. Tugas kita sekarang adalah menjaga nyala itu agar tidak meredup, lalu meneruskannya kepada anak anak yang akan memikul masa depan Indonesia. (*)

Baca juga :
  • Hummer Mill untuk Denpasar
  • Teba Modern Ujian Konsistensi
  • Kedaulatan Data, Harga Diri Bangsa