SETIAP pejabat publik memegang dua kekuasaan sekaligus. Pertama adalah kekuasaan formal yang melekat pada jabatannya. Kedua adalah kekuasaan kata yang mengiringi setiap kebijakan dan pernyataannya. Kekuasaan kata ini sering kali justru lebih menentukan bagaimana kebijakan diterima atau ditolak masyarakat. Polemik sabqul lisan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid menjadi contoh nyata. Ucapan yang dimaksudkan sebagai candaan pada akhirnya viral, menimbulkan salah paham, dan memicu kegelisahan di tengah publik. Klarifikasi telah disampaikan bahwa kebijakan yang dibicarakan hanya menyasar lahan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang terlantar, bukan tanah rakyat atau lahan yang sudah bersertifikat hak milik maupun hak pakai. Namun, persepsi yang terlanjur terbentuk tidak mudah dihapus begitu saja. Peristiwa ini memberi pelajaran penting bahwa komunikasi publik bukan sekadar pelengkap kebijakan, melainkan bagian yang menentukan keberhasilan kebijakan itu sendiri. Kebijakan yang substansinya benar dapat kehilangan dukungan apabila disampaikan dengan pilihan kata yang tidak tepat. Apalagi bila isu yang dibahas menyentuh urat nadi kehidupan rakyat seperti pertanahan. Tanah bagi masyarakat bukan hanya aset ekonomi. Ia adalah sumber kehidupan, tempat tinggal, dan simbol identitas. Ketika pejabat berbicara soal tanah, setiap kata akan ditimbang dengan hati-hati oleh publik. Oleh karena itu, kehati-hatian dalam memilih kata adalah bentuk penghormatan terhadap rakyat yang diwakili. Permintaan maaf yang disampaikan Nusron Wahid patut diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab. Namun, pelajaran yang lebih besar adalah pentingnya disiplin berkomunikasi di era keterbukaan informasi. Di tengah derasnya arus media sosial, satu kata yang keliru dapat lebih berpengaruh dibanding penjelasan panjang yang datang belakangan. Ke depan, semua pejabat publik perlu menempatkan komunikasi sebagai strategi inti, bukan sekadar tugas protokoler. Setiap pernyataan harus mampu menjaga kepercayaan publik, memperjelas arah kebijakan, dan menghindarkan diri dari ruang tafsir yang bisa merugikan. Sebab, sekali kepercayaan hilang, kebijakan terbaik sekalipun akan berjalan pincang. (*)
Baca juga :
• Optimalisasi Penerimaan Pajak
• Jarak Pemimpin dan Rakyat
• Api Perjuangan Bali