DULU, menunggu senja di pantai adalah ritual sederhana. Saya akan datang sedikit lebih awal, mencari tempat duduk di pasir yang agak kering, memesan jagung bakar dari warung pinggir jalan, lalu membiarkan waktu berjalan pelan. Angin laut mengibaskan rambut, dan suara ombak memukul karang dengan ritme yang sudah seperti musik latar bawaan alam. Tak ada kamera. Tak ada tripod. Tak ada suara teriakan mencari sudut selfie terbaik. Hanya saya, beberapa warga lokal, dan matahari yang perlahan turun, seolah tahu bagaimana caranya membuat kita tenang. Beberapa hari lalu, saya mencoba mengulang momen itu. Lokasinya sama, pantai yang dulu seperti rahasia kecil saya. Tapi kali ini, sebelum sempat duduk, saya sudah harus berdesakan. Tripod berjajar seperti tiang listrik, kamera menghadap ke arah yang sama, ponsel siap merekam setiap perubahan warna langit. Di sela-sela suara ombak, terdengar instruksi pose, tawa yang sengaja dibesarkan, bahkan nada dering ponsel yang memecah detik paling hening. Senja itu tetap indah, tak diragukan. Ombak masih datang dengan langkah pasti, langit masih pandai berganti warna, dan pasir tetap dingin di telapak kaki. Tetapi rasa “memiliki” momen itu hilang. Saya tak lagi bisa mendengar napas laut dengan jelas, karena semua orang ingin membawa pulang sepotong senja versi mereka sendiri. Saya mencoba memejamkan mata sejenak, berharap bisa menangkap sensasi lama yang pernah ada. Sayangnya, alih-alih angin laut, yang terdengar adalah suara notifikasi live streaming dari ponsel orang di sebelah saya. Di saat seperti itu, saya sadar, ketenangan di pantai kini bukan hanya soal menunggu senja, tapi juga menunggu orang lain selesai mengabadikannya. Di tengah keramaian itu, saya teringat kata-kata Henry David Thoreau, filsuf dan penulis Amerika yang pernah mengasingkan diri di tepi danau: “This world is but a canvas to our imagination.” Dunia ini hanyalah kanvas bagi imajinasi kita. Mungkin masalahnya bukan pada senja yang ramai, tetapi pada ekspektasi saya yang masih ingin menemukan kanvas kosong. Padahal, di dunia yang semakin terkoneksi, kanvas itu jarang sekali benar-benar kosong. Selalu ada coretan orang lain di sana. Saya jadi berpikir, bukankah hidup memang seperti ini? Kita masuk ke ruang yang sudah diisi oleh cerita orang lain. Bahkan momen yang kita anggap pribadi sering kali lahir dari banyak tangan yang tak terlihat: petani garam yang menjaga pantai, nelayan yang menambatkan perahu, pemilik warung yang menyalakan kompor di sore hari. Berbagi ruang berarti juga berbagi cerita. Senja yang dulu saya kenal sebagai waktu hening, kini menjadi pasar cerita visual. Dan seperti di pasar, kita tidak selalu bisa memilih siapa yang berdagang atau bagaimana suara mereka terdengar. Namun, di tengah riuh itu, ada senyum, ada tawa, ada rasa kagum yang menyatukan semua orang di bawah langit yang sama. Saya pulang sore itu dengan langkah pelan. Mungkin yang perlu saya lakukan bukan mencari pantai lain, tetapi belajar menerima ritme baru ini. Menemukan keindahan bukan hanya di garis horison yang oranye, tetapi juga di wajah-wajah yang berseri saat menangkap momen itu dengan cara mereka. Karena pada akhirnya, senja akan selalu jatuh di tempat yang sama. Yang berubah hanyalah siapa saja yang berdiri di bawahnya, dan bagaimana kita memilih untuk melihatnya. Dan mungkin, di sanalah letak keindahan yang selama ini saya lewatkan. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Bayangan di Dinding
• Seni Melepaskan Hidup
• Nama yang Jarang Disebut