YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Fenomena pengibaran bendera Jolly Roger ala One Piece yang ramai di media sosial belakangan ini dinilai sebagai cermin jurang persepsi antara media arus utama dengan publik. Hal itu disampaikan Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada yang menyoroti lonjakan percakapan digital terkait isu ini. “Sejauh ini, kami mencatat setidaknya ada 2,6 juta impresi terkait isu pengibaran bendera One Piece,” ujar peneliti CfDS UGM Ayom Mratita Purbandani melalui keterangan pers di Yogyakarta, Rabu (13/8/2025). Ayom menjelaskan, di media massa arus utama sentimen yang muncul cenderung negatif atau netral dengan sorotan pada isu makar dan anti-nasionalisme. Namun di media sosial, banyak warganet justru menilai bendera bajak laut itu sebagai simbol kreativitas untuk menyampaikan pesan. “Kami melihat penggunaan idiom budaya populer seperti ini sebagai hal yang jamak untuk mengartikulasikan protes,” ujarnya. Menurut Ayom, fenomena ini sejalan dengan pola penggunaan simbol populer dalam protes global, seperti semangka untuk Palestina atau salam tiga jari di Thailand. Simbol budaya populer mudah diadopsi karena sudah familiar di benak publik dan memiliki resonansi emosional. “Bendera One Piece menjadi saluran pesan sederhana namun kuat, karena dekat dengan ingatan kolektif masyarakat,” katanya. Menariknya, pelarangan simbol ini justru membuat perbincangan semakin meluas di dunia maya. CfDS mencatat munculnya efek Streisand, yakni fenomena di mana upaya membatasi justru memicu meningkatnya atensi publik. “Ketika pelarangan terjadi, pesan simbolik justru semakin tepat sasaran,” kata Ayom. Ia menambahkan, kekuatan simbol populer terletak pada kemampuannya menyampaikan kritik sosial secara non-konvensional dan ringan, sehingga menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas. Visual yang tidak konfrontatif membuat publik dari latar belakang berbeda dapat menangkap pesan tanpa harus membaca manifesto panjang. “Simbol yang sederhana lebih cepat menyebar dan lebih mudah diadopsi,” jelasnya. Dalam konteks peringatan kemerdekaan, penggunaan bendera sebagai medium protes juga dipandang relevan. Simbol bendera memiliki kekuatan visual yang langsung terbaca tanpa perlu penjelasan verbal. “Bendera Jolly Roger efektif karena sederhana, resonan, dan mudah diakses banyak orang,” ujarnya. Ayom menekankan, keberhasilan pesan simbolik seperti ini tidak terlepas dari daya hidupnya di ruang digital. Simbol populer bisa terus dimodifikasi, diadaptasi, dan diproduksi ulang tanpa kehilangan makna utama. “Selama masih ada relevansi dengan kondisi sosial, simbol seperti Jolly Roger akan terus digunakan dan dibicarakan,” tegasnya. (riki/sukadana)
Baca juga :
• Polemik Royalti Musik, Pasha Ungu Akui Musisi Kurang Peka
• Kasus Pati Jadi Pelajaran Hubungan Kepala Daerah dan Rakyat
• Viral Dugaan Eks Tentara Israel Miliki Vila di Bali