KASUS di Kabupaten Pati menjadi pelajaran penting bagi demokrasi lokal. Retaknya hubungan pemimpin dan rakyat menunjukkan rapuhnya kepercayaan publik terhadap kebijakan daerah. Kasus yang menyeret Bupati Pati Mas Sudewo hingga ke ambang pemakzulan bukan hanya soal kebijakan fiskal yang tidak populer, tetapi juga tentang retaknya relasi antara pemimpin dan rakyatnya. Esensi demokrasi daerah sesungguhnya terletak pada kedekatan, bukan jarak. Ketika jarak itu melebar, aspirasi publik pun kerap berubah menjadi demonstrasi di jalanan. Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menekankan bahwa gejolak Pati tidak bisa semata dilihat dari kacamata politik. Ada persoalan struktural yang lebih mendasar, yakni lemahnya kemandirian fiskal daerah. Hampir seluruh provinsi, kabupaten, dan kota masih bergantung pada dana transfer dari pusat. Ketika APBN dipangkas atau diarahkan ulang untuk program prioritas nasional, daerah kerap gagap menutup celah. Sebagian kepala daerah mengambil jalan pintas dengan menaikkan pajak daerah. Secara administratif, kebijakan itu bisa dipahami. Namun dalam realitas sosial, langkah tersebut justru menambah beban masyarakat. Di tengah kondisi ekonomi yang bergejolak, kebijakan menaikkan pajak menimbulkan resistensi publik. Di titik inilah jarak antara pemimpin dan rakyat terlihat nyata. Kebijakan fiskal yang tidak diimbangi komunikasi dan empati hanya akan diterjemahkan rakyat sebagai penambahan penderitaan. Editorial ini menilai, persoalan mendasar di Pati bukan sekadar tentang angka-angka APBD, tetapi tentang kanal aspirasi yang buntu. Ketika rakyat merasa tak didengar, demonstrasi menjadi pilihan terakhir. Padahal, demokrasi daerah seharusnya memberi ruang bagi dialog yang sehat antara eksekutif dan legislatif, serta partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan. Pemakzulan bukan solusi, justru bisa memperlebar jurang ketidakpercayaan. Filsuf Jean-Jacques Rousseau pernah menulis bahwa “kedaulatan sejati berada di tangan rakyat, dan pemimpin hanyalah delegasi dari kehendak umum.” Pesan ini relevan bagi kepala daerah. Kekuasaan tidak boleh menjauh dari rakyat yang memberikannya. John Locke juga menegaskan bahwa legitimasi pemerintah lahir dari consent of the governed, persetujuan rakyat. Jika kepercayaan itu rusak, legitimasi pun runtuh. Pemikir Indonesia, Nurcholish Madjid, pernah menekankan bahwa inti kepemimpinan adalah amanah. Pemimpin yang abai pada amanah akan kehilangan legitimasi moral, meski masih memiliki kekuasaan formal. Amanah itulah yang kini diuji di Pati, apakah kepala daerah mampu menjaga kepercayaan rakyat di tengah badai fiskal dan politik. Pelajaran dari Pati mengingatkan kita bahwa kepemimpinan daerah bukan hanya soal kecakapan mengelola anggaran, melainkan juga kemampuan menjaga empati sosial. Rakyat akan rela berkorban jika merasa diajak dan dihargai, tetapi akan menolak keras jika kebijakan dirasa dipaksakan dari menara gading kekuasaan. Demokrasi daerah harus diarahkan pada praktik kedekatan, bukan jarak. Kepala daerah perlu membuka ruang partisipasi, membangun komunikasi dua arah, dan mengutamakan dialog ketimbang konfrontasi. Indonesia membutuhkan pemimpin daerah yang mampu berjalan bersama rakyat, bukan berseberangan. Jika ingin demokrasi lokal tumbuh sehat, jarak antara pemimpin dan rakyat harus dipangkas sedekat mungkin. (*)
Baca juga :
• Optimalisasi Penerimaan Pajak
• Kata yang Menjaga Kepercayaan Publik
• Api Perjuangan Bali