Search

Home / Kolom / Jeda

Seni Melepaskan Hidup

Nyoman Sukadana   |    15 Agustus 2025    |   02:16:00 WITA

Seni Melepaskan Hidup
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

HIDUP sering kali kita pahami sebagai perjalanan untuk terus menambah: menambah pencapaian, menambah harta, menambah pengalaman. Kita jarang diajarkan bahwa ada saat di mana makna justru hadir ketika kita berani mengurangi, bahkan melepaskan.

Alam telah menyiapkan banyak pengingat bagi manusia. Salah satunya musim gugur. Pohon-pohon yang merelakan daunnya jatuh mungkin terlihat seakan kehilangan. Tetapi sebenarnya, dengan menjatuhkan daun, mereka sedang mempersiapkan diri untuk menyambut musim baru. Sebab jika pohon bersikeras menggenggam semua daun tua, cabang akan rapuh, akar akan lelah, dan musim semi tak akan pernah lahir dengan segar.

Kita pun demikian. Ada ambisi, kenangan, bahkan orang-orang yang pernah mengisi ruang hati kita—yang pada akhirnya harus dilepas. Tidak jarang, justru kita paling menderita ketika berusaha mempertahankan hal-hal yang sudah semestinya pergi. Genggaman yang terlalu erat membuat tangan kita luka, hati kita lelah, dan langkah kita tertahan.

Tentu saja, melepaskan bukanlah perkara mudah. Kita terbiasa menilai hidup dari seberapa banyak yang kita miliki. Rumah yang besar, jabatan yang tinggi, relasi yang luas. Padahal, filsuf stoik Epictetus pernah mengingatkan: “Jangan berharap segala sesuatu berjalan sesuai keinginanmu, tetapi berharaplah segalanya berjalan sesuai dengan takdir alam.” Kalimat sederhana itu adalah undangan untuk belajar ikhlas—karena tidak semua hal bisa kita kendalikan, dan itu tidak apa-apa.

Dalam kehidupan sehari-hari, pelajaran tentang melepaskan hadir dalam banyak bentuk. Ada orang tua yang belajar merelakan anaknya dewasa dan memilih jalannya sendiri. Ada kawan yang harus menerima jarak dan kesibukan baru. Ada individu yang berani meninggalkan pekerjaan mapan demi mengejar ketenangan batin. Semuanya adalah bentuk keberanian untuk tidak hanya mengejar, tetapi juga mengikhlaskan.

Ironisnya, semakin keras kita menolak melepaskan, semakin besar penderitaan yang kita ciptakan sendiri. Buddha Gautama pernah berkata, akar dari penderitaan adalah keterikatan. Melepaskan keterikatan bukan berarti kita berhenti mencinta atau berhenti peduli, melainkan membiarkan hidup mengalir dengan caranya sendiri. Cinta sejati, persahabatan yang tulus, bahkan mimpi yang sehat selalu lahir dari kebebasan, bukan paksaan.

Kita bisa belajar dari dedaunan yang gugur. Mereka tidak menjerit ketika jatuh, tidak memohon untuk tetap tinggal di ranting. Mereka hanya mengikuti arus angin, membiarkan bumi menampung mereka, dan memberi ruang bagi cabang baru untuk bertunas. Seperti daun gugur, kita pun bisa menemukan keindahan dalam kehilangan.

Makna hidup sering kali hadir bukan saat kita mengumpulkan lebih banyak, tetapi ketika kita berani mengurangi. Mengurangi beban di pundak, mengurangi kekhawatiran, mengurangi keterikatan pada hal-hal yang tidak lagi memberi makna. Dalam keberanian melepaskan, kita justru menemukan ruang untuk bernapas lebih lega.

Melepaskan bukan tanda kelemahan. Justru, ia adalah tanda kedewasaan batin. Membutuhkan keberanian besar untuk mengatakan, “Cukup sampai di sini,” atau “Aku rela kamu pergi.” Sama seperti pohon, kita tidak kehilangan identitas meski daunnya gugur. Kita tetap berdiri tegak, bahkan menjadi lebih siap menyambut kehidupan yang baru.

Mungkin seni sejati dari hidup bukanlah tentang seberapa banyak kita menimbun, tetapi seberapa ikhlas kita merelakan. Dalam seni melepaskan, kita diajak untuk menyadari bahwa hidup adalah rangkaian musim. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang tumbuh, ada yang gugur. Dan di setiap perputaran itu, selalu ada kesempatan untuk menemukan makna.

Hidup, pada akhirnya, adalah keberanian untuk melangkah maju tanpa harus membawa semua yang pernah kita genggam. Karena hanya dengan tangan yang terbuka, kita bisa menerima sesuatu yang baru. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Bayangan di Dinding
  • Senja yang Berubah
  • Nama yang Jarang Disebut