Search

Home / Kolom / Jeda

Bayangan di Dinding

Nyoman Sukadana   |    16 Agustus 2025    |   02:39:00 WITA

Bayangan di Dinding
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

ADA satu hal yang selalu mengikuti kita ke mana pun: bayangan. Ia setia menempel pada langkah, bergerak searah, kadang mendahului, kadang tertinggal di belakang. Panjang ketika senja, pendek ketika siang, dan hilang sama sekali saat kegelapan. Bayangan hanya hadir ketika ada cahaya. Tanpa cahaya, ia lenyap, seakan tak pernah ada. Begitulah hidup kita: sering kali dijalani dengan memburu bayangan, padahal yang sejati justru bukan pada bayangan itu, melainkan pada sumber cahaya yang membuatnya ada.

Prestasi, materi, pengakuan—tiga kata itu begitu sering menjadi bayangan yang kita kejar. Sejak kecil, kita sudah diajarkan untuk mengejar ranking, sertifikat, piala. Saat dewasa, kita mengukur diri dari rumah, jabatan, saldo rekening. Di usia lebih matang, kita masih mencari pengakuan: entah dalam bentuk panggilan hormat, liputan media, atau sekadar jumlah tanda suka di media sosial. Semua itu tampak nyata, padahal sesungguhnya hanyalah bayangan yang berubah-ubah. Hari ini panjang, esok bisa pendek. Hari ini tampak terang, esok bisa hilang tanpa jejak.

Friedrich Nietzsche pernah berkata, “He who has a why to live can bear almost any how.” Mereka yang punya alasan sejati untuk hidup akan mampu menanggung apa pun. Tetapi yang sering terjadi pada kita justru sebaliknya: kita terlalu sibuk dengan how—bagaimana cara cepat kaya, bagaimana cara cepat terkenal, bagaimana cara mendapat posisi. Kita lupa menggali why: untuk apa semua itu kita cari? Maka bayangan yang kita buru tak pernah selesai, karena ia bergerak terus seiring cahaya bergeser.

Dalam alegori guanya, Plato menulis tentang manusia yang hidup di dalam gua, hanya bisa melihat bayangan di dinding dan mengira itulah kenyataan. Ketika seseorang keluar dan melihat matahari, ia menyadari bahwa bayangan hanyalah semu, dan kebenaran sesungguhnya ada di luar sana. Dua ribu tahun lebih berlalu, namun kita masih sering hidup di gua yang sama: terpaku pada bayangan di dinding modern bernama layar kaca, papan iklan, dan gawai. Kita terpikat oleh citra yang dipoles, bukan oleh kenyataan yang utuh.

Jean Baudrillard, filsuf Prancis, menyebut keadaan ini sebagai simulacra: saat tanda dan citra lebih menentukan daripada realitas. Lihatlah media sosial: kita lebih sibuk membangun citra diri ketimbang merawat diri sendiri. Senyum yang diposting tak selalu berarti bahagia. Prestasi yang diumumkan tak selalu seindah proses di baliknya. Bayangan jadi lebih penting daripada cahaya. Kita hidup dalam representasi, bukan dalam realitas.

Namun sesungguhnya, makna hidup tidak selalu ada pada hal-hal yang tampak. Ada doa yang terucap dalam diam, ada kebaikan yang tidak pernah masuk berita, ada kerja keras yang tak pernah terdokumentasikan. Semua itu tidak menghasilkan bayangan di dinding, tetapi justru meninggalkan jejak yang lebih dalam: dalam hati orang-orang yang merasakannya, dalam keheningan yang menyimpan makna.

Albert Camus, dalam renungannya tentang absurditas, menulis: “The struggle itself toward the heights is enough to fill a man’s heart. One must imagine Sisyphus happy.” Perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk memberi makna, meski tanpa pengakuan, tanpa sorot kamera, tanpa bayangan yang terlihat. Hidup menjadi bermakna bukan karena kita dipandang, melainkan karena kita berani menjalani.

Pertanyaannya, apakah kita berani keluar dari gua bayangan itu? Apakah kita siap berhenti mengejar pencitraan yang fana, dan mulai merawat cahaya yang abadi di dalam diri? Bukan berarti kita menolak prestasi atau membenci materi. Bukan pula kita alergi pada pengakuan. Semua itu wajar, bahkan perlu. Tetapi menempatkan mereka sebagai tujuan utama hanya akan membuat kita sibuk berlari mengejar sesuatu yang tak pernah bisa digenggam.

Mungkin makna hidup yang sesungguhnya adalah menjaga cahaya. Cahaya itu bisa berupa nilai, cinta, iman, atau ketulusan. Selama cahaya itu menyala, bayangan akan selalu ada. Kadang panjang, kadang pendek, kadang hilang sama sekali. Dan tidak apa-apa. Sebab ukuran hidup kita bukan seberapa besar bayangan di dinding, melainkan seberapa terang cahaya yang kita bawa.

Maka, berhentilah sebentar. Tatap dinding di sekelilingmu, dan lihatlah bayangan yang bergerak. Lalu tanyakan pada diri: apakah aku sedang mengejar bayangan, atau merawat cahaya? Pertanyaan itu mungkin sederhana, tapi bisa menentukan arah seluruh hidup kita. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Seni Melepaskan Hidup
  • Senja yang Berubah
  • Nama yang Jarang Disebut