PEMERINTAH telah menetapkan target ambisius dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, dengan penerimaan pajak ditargetkan mencapai Rp2.357 triliun. Angka ini naik 13,5 persen dibandingkan capaian pada APBN 2025. Kenaikan tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah target ini realistis di tengah situasi ekonomi global yang masih dipenuhi ketidakpastian? Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa target ini tidak akan dibarengi dengan penambahan tarif maupun jenis pajak baru. Kebijakan perpajakan akan tetap merujuk pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) serta aturan yang sudah berlaku. Dengan demikian, reformasi internal seperti penerapan core tax dan pertukaran data lintas lembaga menjadi instrumen utama yang diandalkan pemerintah untuk mengejar kenaikan penerimaan tersebut. Secara total, RAPBN 2026 menargetkan penerimaan negara sebesar Rp3.147,7 triliun, tumbuh 9,8 persen dibanding tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak menjadi tulang punggung terbesar. Namun, perlu dicermati bahwa bea cukai hanya tumbuh 7,7 persen dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) justru menurun 4,7 persen. Artinya, keberhasilan RAPBN 2026 sangat bergantung pada kinerja penerimaan pajak. Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyebut target ini realistis dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi nominal serta dua langkah strategis: core tax dan program bersama antar-kementerian. Namun, realisme bukan hanya soal angka di atas kertas. Realisme juga menyangkut kemampuan pemerintah menutup celah kebocoran pajak, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, serta memperbaiki integritas sistem administrasi. Sejatinya, persoalan utama perpajakan di Indonesia bukan sekadar tarif atau jenis pajak, melainkan kepatuhan yang masih rendah. Tax ratio Indonesia hingga kini masih tertinggal dibandingkan negara-negara dengan tingkat pendapatan menengah. Rendahnya kepatuhan, lemahnya basis data, serta praktik penghindaran pajak yang masih marak menjadi hambatan struktural yang harus segera ditangani. Penerapan core tax dan pertukaran data antarlembaga memang merupakan langkah strategis. Sistem ini diharapkan mampu menyatukan informasi perpajakan, meminimalkan praktik manipulasi, dan memperkuat pengawasan. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa reformasi digitalisasi tidak serta-merta otomatis meningkatkan kepatuhan. Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dalam menutup celah birokrasi, mengurangi tumpang tindih regulasi, serta membangun kepercayaan publik. Kepercayaan publik menjadi faktor yang tak kalah penting. Wajib pajak akan lebih patuh jika merasa penerimaan pajak dikelola dengan transparan dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Sayangnya, kasus korupsi yang menyeret aparat pajak dalam beberapa tahun terakhir masih menyisakan luka dalam persepsi masyarakat. Tanpa pemulihan integritas, reformasi administrasi berisiko kehilangan legitimasi sosial. Target penerimaan yang ambisius juga harus diimbangi dengan kebijakan fiskal yang adil. Jangan sampai pemerintah terlalu menekan kelompok yang sudah patuh, sementara yang menghindar dari kewajiban tetap lolos dari jerat pengawasan. Dalam konteks ini, penerapan Automatic Exchange of Information (AEoI) secara efektif dapat menjadi salah satu instrumen penting untuk melacak aliran dana lintas negara. Dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan pembangunan, pemerintah memang tidak memiliki banyak pilihan selain mengoptimalkan penerimaan pajak. Namun, optimasi ini seharusnya tidak hanya sekadar mengejar angka, melainkan juga memperkuat fondasi sistem perpajakan nasional agar lebih adil, transparan, dan berkelanjutan. Reformasi pajak yang dicanangkan tidak boleh berhenti di level teknis, melainkan juga harus menegakkan akuntabilitas dan etika pengelolaan anggaran. (*)
Baca juga :
• Jarak Pemimpin dan Rakyat
• Kata yang Menjaga Kepercayaan Publik
• Api Perjuangan Bali