Search

Home / Kolom / Jeda

Wajah Ironi

Nyoman Sukadana   |    19 Agustus 2025    |   07:27:00 WITA

Wajah Ironi
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

PLASTIK bening berisi dua kilogram beras itu menggantung di tangan kanan seorang ibu. Keringat menetes di pelipisnya, langkahnya gontai menembus jalan tanah yang berdebu. Di rumah, seorang anak menunggu di balik pintu, bukan untuk hadiah, bukan untuk mainan baru—hanya untuk memastikan ada yang bisa dimakan siang ini. Senyum yang muncul tipis, lebih karena lega daripada bahagia.

Pemandangan ini begitu akrab di banyak tempat. Di pasar murah, di antrean minyak goreng, di lorong-lorong kontrakan buruh. Hidup bagi mereka bukan tentang cita rasa, melainkan tentang sekadar ada atau tidaknya makanan di meja. Mereka yang bergulat dengan kenyataan ini tak pernah sempat memikirkan panggung politik atau janji pembangunan. Hidup bagi mereka adalah soal bertahan.

Namun di layar televisi, wajah lain dari negeri ini muncul. Seorang pejabat, dengan baju oranye khas tahanan korupsi, tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Ada yang bahkan berjoget, seolah panggung penangkapan hanyalah bagian kecil dari pertunjukan panjang kekuasaan. Tak sedikit yang masih sempat melontarkan gurauan, seakan-akan miliaran rupiah yang raib bukanlah beban moral, melainkan sekadar angka yang salah catat.

Di sinilah wajah ironi bangsa terpampang telanjang. Ketika baju oranye yang mestinya jadi lambang penyesalan berubah menjadi panggung tawa. Saat pejabat yang mestinya tunduk pada rasa malu justru masih bisa menari, sedang rakyat yang mestinya dilayani berjuang demi sesuap nasi.

Simone Weil pernah mengingatkan bahwa ketidakadilan yang dibiarkan terlalu lama akan menjadi pemandangan yang dianggap biasa. Bukankah kita sedang berada di titik itu? Kita menonton pejabat yang tertawa dalam baju tahanan, dan kita tak lagi marah. Kita melihat antrean rakyat di pasar murah, dan kita hanya mengangguk lalu beranjak pergi.

Ironi itu semakin menyakitkan ketika jaraknya begitu dekat. Di satu gedung pemerintahan, rapat berlangsung di hotel berbintang dengan hidangan berlapis-lapis yang tak pernah habis disantap. Hanya beberapa meter di luar, tukang parkir menahan lapar sampai malam karena uangnya habis untuk membeli susu anak. Dua dunia yang berbeda, bersisian, tapi tak pernah benar-benar bersentuhan.

Albert Camus menulis bahwa yang sulit bukanlah menemukan kebenaran, melainkan melawan kebiasaan berbohong. Kata-kata itu seolah ditujukan untuk kita, bangsa yang sudah terlalu sering berhadapan dengan kebohongan hingga kehilangan daya untuk marah. Kita tahu ada ketidakadilan, tapi kita menontonnya seperti hiburan. Kita tahu ada kemewahan pejabat yang tak wajar, tapi kita lebih sibuk memperdebatkan hal-hal remeh di media sosial. Kita tahu rakyat kecil terhimpit, tapi esoknya kita melupakannya.

Sebagai wartawan, saya pernah berdiri di depan seorang pejabat yang digiring keluar gedung, tangannya diborgol, wajahnya tersenyum. Aneh rasanya—antara marah, muak, sekaligus getir. Kamera tetap mengabadikan senyum itu, dan besoknya ia akan jadi konsumsi publik. Tapi di hati kecil saya, ada pertanyaan yang tak kunjung hilang: mengapa bangsa ini bisa begitu mudah memaafkan ironi?

Apakah kita akan terus membiarkan wajah bangsa ditentukan oleh senyum pejabat dalam baju oranye? Apakah kita rela sejarah hanya mencatat pesta, tawa, dan kemewahan segelintir, sementara air mata rakyat kecil hilang tanpa jejak?

Bangsa ini masih punya pilihan. Kita bisa memilih untuk jujur menatap luka, bukan menutupinya dengan tawa palsu. Kita bisa memilih mendengarkan suara rakyat kecil, bukan hanya tepuk tangan di panggung kekuasaan. Kita bisa memilih menjadikan keadilan sebagai kebiasaan, bukan sekadar jargon kampanye.

Soekarno pernah berkata: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” Hari ini, pahlawan itu bukan hanya mereka yang telah gugur di masa lalu, tetapi juga rakyat kecil yang tetap bertahan meski dihimpit kesulitan.

Jika pejabat terus tertawa dalam baju oranye, sementara rakyat terus menangis di antrean beras, maka bangsa ini sejatinya sedang kehilangan wajahnya sendiri. Tapi selama masih ada yang berani mencatat, mengingat, dan menuliskan ironi ini, harapan belum sepenuhnya padam. Wajah bangsa ini tidak hanya milik mereka yang di layar televisi—ia juga milik rakyat yang bertahan, yang setiap hari mengajarkan kita arti kesabaran dan keberanian untuk hidup. (*)

Menot Sukadana

Baca juga :
  • Bayangan di Dinding
  • Seni Melepaskan Hidup
  • Senja yang Berubah