Kebijakan dan Rasa Keadilan
KEBIJAKAN publik pada akhirnya bukan sekadar deretan angka dalam tabel fiskal, melainkan persoalan rasa keadilan di tengah masyarakat. Kasus kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) di Kabupaten Pati menjadi contoh bagaimana kebijakan yang lahir tanpa sensitivitas sosial bisa memicu gejolak besar. Lonjakan hingga 250 persen bukan hanya membebani kantong warga, tetapi juga melukai rasa keadilan kolektif.
Reaksi publik di Pati menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi pasif terhadap keputusan pemerintah daerah. Mereka paham bahwa pajak memang kewajiban, tetapi kenaikan yang drastis tanpa dialog dan sosialisasi dianggap mengabaikan prinsip proporsionalitas. Demonstrasi yang menuntut Bupati mundur adalah wujud ketidakpercayaan yang lahir dari komunikasi yang terputus.
Kementerian Dalam Negeri cepat merespons. Surat edaran Mendagri kepada seluruh kepala daerah agar mengevaluasi kebijakan kenaikan PBB P2 adalah langkah penting untuk meredam gejolak. Data bahwa ada 104 daerah yang sudah menaikkan tarif, dengan 20 daerah melampaui 100 persen, menunjukkan persoalan ini bukan kasus tunggal. Ini adalah potret tantangan fiskal daerah yang menuntut kehati-hatian.
Pemerintah daerah memang membutuhkan ruang fiskal untuk membiayai pembangunan. Namun, ruang itu tidak boleh ditempuh dengan cara yang justru menggerus legitimasi sosial. Kenaikan pajak seharusnya disertai dengan penjelasan transparan: untuk apa dana digunakan, bagaimana manfaat langsungnya bagi masyarakat, dan mengapa angka kenaikan dianggap wajar. Tanpa penjelasan yang masuk akal, kebijakan mudah ditafsirkan sebagai tindakan sepihak yang merugikan rakyat kecil.
Editorial ini mengingatkan bahwa substansi pajak bukan semata pungutan, melainkan kontrak sosial. Negara diberi kewenangan memungut karena rakyat percaya dana itu kembali dalam bentuk pelayanan publik yang adil. Ketika kontrak sosial itu dilanggar, rasa keadilan pun retak. Retaknya rasa keadilan lebih berbahaya daripada sekadar turunnya angka penerimaan, karena ia merusak fondasi kepercayaan antara pemerintah dan warga.
Kasus Pati sudah melahirkan koreksi. Surat teguran Mendagri membuat Bupati meralat kebijakannya. Namun peristiwa ini harus menjadi pelajaran kolektif. Setiap kepala daerah dituntut lebih berhati-hati, mengedepankan dialog, dan menghitung kemampuan riil masyarakat.
Unjuk rasa yang direncanakan pada 25 Agustus mendatang adalah pengingat bahwa luka belum sepenuhnya sembuh. Tugas pemerintah bukan hanya mengubah angka kebijakan, tetapi juga memulihkan rasa percaya. Ke depan, keberanian menaikkan pajak harus diimbangi dengan keberanian menjelaskan alasan dan menjamin manfaatnya.
Pajak tidak boleh hadir sebagai beban, melainkan sebagai wujud gotong royong untuk membiayai kepentingan bersama. Di titik itulah rasa keadilan menjadi ukuran utama. Sebab pembangunan yang bertumpu pada ketidakadilan hanya akan melahirkan jurang ketidakpercayaan. (*)