DALAM sejarah kepemimpinan bangsa, ada sosok-sosok yang tetap dikenang bukan karena sorotan kamera, tetapi karena laku hidupnya yang jernih. Mereka adalah cermin bahwa kekuasaan tidak harus beriring dengan kemewahan, dan keteguhan moral bisa lebih abadi daripada popularitas yang bergema sesaat. Namun, di tengah hiruk pikuk politik hari ini, keteladanan itu kian terasa menghilang, tertutup oleh riuh pencitraan yang lebih sibuk membentuk bayangan daripada menghadirkan kenyataan. Bung Hatta adalah salah satu teladan yang kerap dirindukan. Ia pernah berujar, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” Kalimat itu lahir dari keyakinannya bahwa kebebasan bukan soal ruang, tetapi soal kejernihan pikiran. Ia hidup sederhana, bahkan disebut wafat tanpa harta berarti. Tetapi integritasnya, yang menolak fasilitas berlebihan, justru meninggalkan warisan moral yang tak ternilai. Dalam masa di mana kekuasaan kerap dipertukarkan dengan kemewahan, Hatta menunjukkan bahwa kesederhanaan bukan kelemahan, melainkan kekuatan untuk menolak godaan. Jenderal Hoegeng Iman Santoso pun dikenang serupa. Namanya lekat dengan sebutan polisi paling jujur. Ia menolak fasilitas, menolak kompromi dengan kejahatan, bahkan jika itu berarti dirinya harus hidup dengan keterbatasan. Kejujurannya membuat rakyat mengingatnya jauh setelah masa jabatannya usai. Hannah Arendt pernah menulis, “Power is actualized only when word and deed have not parted company.” Kekuasaan hanya sahih ketika kata dan tindakan berjalan seiring. Dalam diri Hoegeng, prinsip itu menemukan wujud: seorang pemimpin yang teguh, tanpa jarak antara ucapan dan perbuatan. Kita juga mengenang Ir. Sutami, Menteri Pekerjaan Umum yang membangun infrastruktur penting negeri ini. Di balik bendungan besar dan jalan raya yang ia wariskan, ia justru meninggal dalam keadaan sederhana, bahkan meninggalkan cicilan rumah yang belum lunas. Sutami memperlihatkan bahwa kepemimpinan adalah soal bekerja dalam sunyi, bukan soal menimbun pujian. Ia membuktikan bahwa dedikasi bisa berdiri tegak tanpa harus ditemani gemerlap sorotan. Kontras dengan itu, situasi hari ini memperlihatkan wajah kepemimpinan yang berbeda. Pemimpin lebih sibuk merancang agenda setting, memastikan setiap langkah terekam, setiap gestur dikemas menjadi bahan publikasi. Apa yang tampil di layar sering kali lebih kuat daripada kenyataan yang dialami rakyat. Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai simulacrum—sebuah representasi yang tak lagi merujuk pada kenyataan, melainkan menciptakan realitasnya sendiri. Maka, pemimpin hari ini sering hadir sebagai bayangan yang lebih nyata ketimbang kenyataan yang mereka wakili. Fenomena ini menghadirkan risiko besar: rakyat tak lagi menilai pemimpin dari kerja nyata, melainkan dari representasi yang diproduksi media. Seolah-olah keaslian tidak lagi penting, yang penting adalah bagaimana ia tampil. Socrates, melalui pemikiran yang diwariskan murid-muridnya, menekankan bahwa kepemimpinan sejati bertumpu pada pengetahuan diri dan kebajikan. Pemimpin, menurutnya, harus memimpin dengan memberi contoh dan menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Prinsip itu menjadi pengingat bahwa kepemimpinan seharusnya mengandung moralitas, bukan sekadar kecakapan komunikasi. Di tengah kondisi ini, pertanyaan yang patut kita ajukan adalah: apakah bangsa ini masih membutuhkan teladan? Jawabannya, tentu ya. Sebab tanpa teladan, kita kehilangan jangkar moral yang menjaga arah. Tanpa teladan, kepemimpinan hanya menjadi panggung sandiwara yang cepat berganti babak. Dan rakyat, sekali lagi, hanya menjadi penonton setia yang tak pernah benar-benar diajak bicara. Teladan seperti Bung Hatta, Hoegeng, dan Sutami bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan cermin untuk menakar hari ini. Mereka menunjukkan bahwa keteguhan hati lebih penting daripada sorotan kamera, dan kesederhanaan lebih mulia daripada pesta pencitraan. Dari mereka kita belajar bahwa integritas mungkin tidak selalu menjanjikan kemudahan, tetapi selalu menjanjikan keabadian. Karena pada akhirnya, yang membuat pemimpin dikenang bukanlah jumlah like di layar, melainkan kebenaran yang ia jalani dalam hidupnya. (*) (Menot Sukadana)
Baca juga :
• Rapuhnya Tahta Manusia
• Wajah Ironi
• Bayangan di Dinding