ADA saat ketika hidup manusia menunjukkan wajahnya yang paling getir. Hari-hari yang datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, meruntuhkan segala yang selama ini dianggap kokoh. Sabtu itu, Uya Kuya, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, dan Eko Patrio merasakan betapa singkat jarak antara kemuliaan dan kehinaan. Rumah mereka dijarah, harta benda porak poranda, nama baik digerus gelombang cemooh di media sosial, dan jabatan politik yang biasanya dipandang sebagai singgasana mendadak berubah menjadi beban. Dalam sekejap, mereka tidak hanya kehilangan apa yang melekat pada tubuhnya, tetapi juga kehilangan wajah kehormatan di hadapan publik. Sahroni, Bendahara Umum DPP Partai NasDem sekaligus anggota DPR RI, dikenal sebagai politisi dengan jejaring kuat. Eko Patrio, Sekretaris Jenderal PAN dan anggota DPR RI, selama ini dikenal piawai membangun komunikasi politik. Uya Kuya dan Nafa Urbach, meski awalnya lebih dekat dengan dunia hiburan, kini juga masuk gelanggang politik dan menyandang status wakil rakyat. Keempat nama ini, di mata publik, identik dengan popularitas, kuasa, fasilitas, rumah besar, dan kenyamanan yang seringkali hanya bisa dilihat dari kejauhan oleh masyarakat kebanyakan. Tetapi hari itu, yang tersisa hanyalah reruntuhan: dinding rumah yang dirusak, barang-barang berharga yang lenyap, jabatan yang dipermalukan, serta cemoohan yang datang silih berganti di jagat maya. Friedrich Nietzsche pernah menulis, “Apa yang dibangun manusia bisa diruntuhkan manusia lain dalam sekejap.” Betapa tepat kata-kata itu. Rumah mewah yang tampak megah bisa roboh hanya dalam hitungan jam. Nama besar yang dibangun dengan kerja keras bertahun-tahun hancur begitu saja. Yang tersisa hanyalah bayangan bahwa segala yang dianggap milik abadi sesungguhnya tidak pernah benar-benar kita genggam. Semua itu hanyalah titipan. Marcus Aurelius, filsuf Stoa sekaligus Kaisar Romawi, pernah mengingatkan, “Segala yang kita miliki hanyalah pinjaman, bukan milik. Bersiaplah setiap saat untuk mengembalikannya.” Kalimat itu kini berdentang keras di tengah peristiwa yang menimpa keempat tokoh tersebut. Rumah, jabatan, harta, bahkan reputasi—semua adalah pinjaman yang sewaktu-waktu bisa ditarik kembali. Betapa singkat jarak antara keangkuhan dan kerendahan, antara kekuasaan dan keterpurukan. Sejarah memberi banyak cermin. Napoleon Bonaparte yang pernah menguasai hampir seluruh Eropa akhirnya diasingkan di sebuah pulau terpencil, jauh dari segala kejayaan. Soeharto yang dianggap penguasa tak tergoyahkan selama tiga dekade jatuh hanya dalam hitungan hari pada Mei 1998, ditinggalkan oleh orang-orang terdekatnya. Bahkan dalam catatan klasik, Kaisar Nero yang berkuasa penuh di Romawi, akhirnya mati terhina, sendirian, setelah ditinggalkan pengikutnya. Semua kisah itu menegaskan satu hal: kuasa manusia rapuh, lebih rapuh dari yang kita bayangkan. Apa yang menimpa para pejabat ini memang bermula dari sesuatu yang dianggap sepele: joget dan ucapan yang lahir tanpa kepekaan. Tetapi di tengah kesulitan rakyat yang kian berat, hal kecil bisa menjadi percikan yang membakar kemarahan. Ketika rakyat harus mengencangkan ikat pinggang, ketika harga-harga semakin menghimpit, ketika pekerjaan semakin sulit didapat, sikap wakil rakyat yang justru menampilkan kegembiraan tanpa empati menjadi luka tambahan. Maka, kemarahan pun meledak. Rumah dijarah, nama baik diruntuhkan, jabatan dipermalukan. Semua terjadi begitu cepat, seperti badai yang datang tanpa ampun. Namun, di balik semua ini, sesungguhnya ada pesan besar bagi kita semua. Bahwa jabatan tidak pernah menjadi milik sejati, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan kerendahan hati. Bahwa harta tidak bisa dijadikan sandaran, sebab ia bisa lenyap kapan saja. Bahwa kuasa hanya sementara, dan bisa runtuh bahkan sebelum kita sempat menyadarinya. Bahkan nyawa yang kita genggam dengan begitu erat pun pada akhirnya akan dikembalikan. Semua hanyalah titipan Tuhan. Ungkapan Latin sic transit gloria mundi—“demikianlah kejayaan dunia berlalu”—kembali terasa nyata. Hari ini kita bisa berada di singgasana, besok kita bisa menjadi pengembara tanpa rumah. Hari ini kita bisa dielu-elukan, besok kita bisa dicaci tanpa ampun. Hari ini kita bisa merasa berkuasa, besok kita bisa tidak berdaya. Semua yang kita anggap milik hanyalah pinjaman yang sewaktu-waktu akan ditarik kembali. Peristiwa ini mungkin menyakitkan bagi mereka yang mengalaminya. Tetapi bagi kita semua, ia menjadi pengingat yang keras bahwa hidup adalah perjalanan singkat. Bahwa jabatan dan harta bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk berbuat baik. Dan bahwa pada akhirnya, yang akan dikenang bukanlah besar kecilnya rumah atau tinggi rendahnya jabatan, melainkan jejak kebaikan yang kita tinggalkan. Rapuhnya tahta manusia bukanlah cerita tentang orang lain semata. Ia adalah kisah kita semua. Setiap orang, pada skala masing-masing, pernah merasa memiliki sesuatu dengan begitu kuat. Namun hidup selalu punya cara untuk mengingatkan: semua itu bisa hilang kapan saja. Maka, ketika kita masih diberi kesempatan untuk menjaga titipan, mari kita jalani dengan hati-hati, rendah hati, dan penuh rasa syukur. Sebab pada akhirnya, tahta manusia tidak pernah benar-benar kokoh. Ia hanya sementara, dan akan runtuh ketika waktunya tiba. (*) Menot Sukadana
Baca juga :
• Teladan yang Menghilang
• Wajah Ironi
• Bayangan di Dinding