Podiumnews.com / Kolom / Jeda

Kesahajaan sebagai Ukuran Martabat

Oleh Podiumnews • 02 September 2025 • 17:45:00 WITA

Kesahajaan sebagai Ukuran Martabat
Menot Sukadana. (dok/pribadi)

INTRUKSI Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian agar pejabat daerah dan keluarganya menahan diri dari flexing kemewahan sebetulnya bukan sekadar seruan administratif, melainkan alarm moral. Instruksi itu datang di tengah kondisi rakyat yang sedang menghadapi tekanan ekonomi. Dalam situasi demikian, setiap pamer kemewahan bukan sekadar soal gaya hidup, tetapi luka bagi rasa keadilan publik.

Sejarah Indonesia menyimpan teladan pejabat yang menempatkan kesederhanaan sebagai bagian dari martabat. Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama, dikenal jujur dan bersahaja. Ia bahkan dikisahkan tidak sanggup membeli sepatu Bally yang diidamkannya. Namun, ketidakmampuannya itu tidak pernah merendahkan kehormatannya sebagai pemimpin. Bagi Bung Hatta, martabat seorang pemimpin tidak ditentukan oleh apa yang dipakai, melainkan oleh integritas yang dijaga.

Kita juga mengenang Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Imam Santoso, Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang masyhur dengan hidup sederhana. Ia menolak fasilitas mewah, mengendarai mobil biasa, dan menjaga jarak dari praktik gratifikasi. Namanya harum bukan karena kekayaan, melainkan karena kejujuran. Bahkan masyarakat pernah bergurau bahwa di Indonesia hanya ada tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng. Gurauan getir ini justru mengabadikan nama Hoegeng sebagai simbol integritas.

Teladan lain datang dari Ir. Sutami, Menteri Pekerjaan Umum yang hidup amat sederhana meski mengelola proyek infrastruktur besar pada masanya. Ia lebih memilih rumah biasa daripada fasilitas negara, dan dikenal menolak kemewahan yang tidak perlu. Kesahajaan yang ia jalani menjadi warisan moral tentang bagaimana seorang pejabat mestinya memandang jabatan: sebagai pengabdian, bukan kesempatan menumpuk harta.

Keteladanan ini kian kontras dengan perilaku banyak pejabat dan figur publik hari ini yang sibuk mempertontonkan kemewahan. Jam tangan seharga miliaran rupiah, pesta ulang tahun keluarga yang berlebihan, hingga liburan mewah ke luar negeri begitu mudah tersorot publik. Di era digital, semua itu cepat viral, menjadi tontonan yang justru mempertebal jarak antara elite dan rakyat.

Filsuf Yunani kuno, Diogenes dari Sinope, pernah berkata: “Ia yang puas dengan sedikit adalah orang yang paling kaya, sebab kekayaan sejati ada dalam kecukupan.” Pesan itu terasa relevan di tengah fenomena flexing pejabat. Kekayaan sejati tidak diukur dari apa yang dipamerkan, melainkan dari kemampuan merasa cukup.

Albert Einstein, fisikawan besar dunia, juga pernah berujar: “Kehidupan yang sederhana dan bersahaja seringkali lebih baik bagi semua orang, lebih baik bagi tubuh, dan lebih baik bagi jiwa.” Kesederhanaan, bagi Einstein, bukan sekadar pilihan etis, tetapi jalan hidup yang sehat secara sosial maupun spiritual.

Instruksi Mendagri Tito akan kehilangan makna jika hanya berhenti pada kata-kata. Tanpa teladan nyata, larangan flexing tidak akan mengubah apa pun. Pejabat perlu berani hidup sederhana, bukan hanya dalam tugas dinas, tetapi juga dalam kehidupan pribadi. Jika memang ada larangan, maka harus disertai pengawasan dan sanksi yang jelas. Publik berhak melihat bahwa pemerintah tidak sekadar menegur, tetapi juga bertindak tegas terhadap pelanggaran.

Sejarah akan menilai pemimpin bukan dari jumlah rumah, mobil, atau jam mewah yang dimilikinya. Sejarah hanya akan mengenang mereka yang berani hidup sederhana demi martabat bangsa. Bung Hatta, Jenderal Hoegeng, dan Ir. Sutami telah membuktikannya. Kesahajaan mereka bukan kelemahan, tetapi kekuatan yang menjadikan nama mereka abadi. (*)

Menot Sukadana