YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Gelombang demonstrasi yang berujung kerusuhan di berbagai daerah dinilai bukan sekadar luapan emosi sesaat. Aksi massa yang menjurus pada kekerasan, penjarahan, dan pembakaran fasilitas publik merupakan puncak dari akumulasi kekecewaan rakyat terhadap ketidakadilan sosial ekonomi yang berkepanjangan. Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada, Achmad Munjid MA PhD, menegaskan bahwa ledakan kemarahan publik tidak muncul tiba-tiba. “Kalau kita mengikuti apa yang berlangsung ini kan bukan peristiwa yang tiba-tiba. Ini merupakan akibat dari akumulasi serangkaian hal yang sifatnya panjang. Akar persoalannya adalah ketimpangan sosial ekonomi,” jelasnya melalui siaran pers, Selasa (2/9/2025). Menurut Munjid, kondisi ekonomi yang sulit menjadi latar utama. Maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), bisnis yang lesu, serta anggaran negara yang tekor memperparah kekecewaan masyarakat. Di sisi lain, sikap para pemimpin yang dianggap tidak sensitif dengan kondisi rakyat, bahkan cenderung mempertontonkan kemewahan, kian memperlebar jurang antara pemerintah dengan masyarakat. “Rakyat banyaknya ini tidak merasa diwakili, tidak merasa dibela, tidak merasa didengar,” ungkapnya. Tragedi tewasnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, setelah terlindas kendaraan taktis Barakuda pada 28 Agustus, menjadi pemicu ledakan kemarahan kolektif. Munjid menyebut, profesi ojol banyak digeluti masyarakat akibat terbatasnya lapangan kerja layak. Namun status mereka hanya sebatas mitra tanpa jaminan sosial, sehingga rentan secara ekonomi. Kondisi ini membuat klaim penurunan angka pengangguran dan kemiskinan menjadi semu. Ia menambahkan, pendekatan represif aparat justru memperbesar amarah masyarakat. Respons kekerasan terhadap massa yang sedang marah dinilai kontraproduktif. “Kekerasan yang ditekan dengan kekerasan lebih besar itu tidak selalu bisa efektif,” tegasnya. Munjid mengingatkan pemerintah untuk membenahi akar persoalan dengan langkah demokratis. Ia menekankan perlunya revisi kebijakan, pergantian pejabat yang arogan, serta penghentian program-program yang membebani rakyat. Ia juga mengajak tokoh agama, akademisi, dan media ikut menyuarakan aspirasi masyarakat. “Problem demokrasi, solusinya juga ada pada demokrasi. Jangan sampai penggunaan kekerasan dan militer justru menjauhkan kita dari demokrasi,” pungkasnya. (riki/sukadana)
Baca juga :
• Lima Satya Jadi Pesan Moral PHDI untuk Presiden
• Bupati Badung Gandeng Tokoh Lintas Agama Jaga Kondusivitas Daerah
• Tunjangan Tinggi, Komunikasi Pejabat Justru Jauh dari Publik