GELOMBANG demonstrasi yang berujung kerusuhan di berbagai daerah pekan ini menunjukkan betapa rapuhnya fondasi keadilan sosial di negeri ini. Api yang membakar fasilitas publik dan amarah yang meluap di jalanan bukanlah peristiwa spontan. Ia adalah hasil dari akumulasi kekecewaan panjang yang tidak pernah benar-benar diurai. Ketidakadilan sosial-ekonomi, pemutusan hubungan kerja yang masif, bisnis yang lesu, anggaran negara yang tekor, serta jarak sosial antara rakyat dan elit yang makin menganga telah menjadi bara dalam sekam. Tragedi tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, hanyalah pemicu. Profesi ojol yang digeluti jutaan warga adalah simbol dari rapuhnya jaminan sosial dan terbatasnya lapangan kerja formal. Mereka disebut mitra, tetapi tak memiliki perlindungan sosial. Mereka disebut produktif, tetapi hidup dalam ketidakpastian. Ketika tragedi itu terjadi, publik melihat dirinya sendiri: rakyat kecil yang bekerja keras, namun tetap tak terlindungi. Di situlah kemarahan kolektif menemukan pijarannya. Sayangnya, respons negara justru kontraproduktif. Aparat dikerahkan dengan pendekatan represif. Massa yang marah dihadapi dengan barikade, gas air mata, dan kendaraan taktis. Kekerasan dibalas dengan kekerasan. Api disiram dengan bensin. Sejarah sudah berkali-kali memberi pelajaran bahwa pendekatan semacam ini hanya memperbesar luka dan menambah panjang daftar korban. Namun entah mengapa, pelajaran itu kembali diabaikan. Editorial ini ingin menegaskan bahwa kekerasan tidak pernah menjadi jawaban untuk mengatasi kegelisahan sosial. Kerusuhan mungkin bisa dipukul mundur sesaat, tetapi luka yang ditinggalkan akan menjadi bara yang sewaktu-waktu bisa meledak kembali. Tindakan represif memang mampu menghadirkan ketertiban semu, namun di baliknya mengendap rasa sakit, rasa tidak adil, dan rasa tidak dianggap. Inilah bom waktu sosial yang sebenarnya. Pemerintah harus belajar dari api yang sudah terlanjur menyala. Api tidak pernah bisa dipadamkan dengan bensin. Ia hanya bisa ditundukkan dengan air: dengan kesejukan keadilan, dengan keteguhan untuk mendengar, dan dengan keberanian politik untuk mengoreksi diri. Saat rakyat menjerit, yang dibutuhkan bukan pertunjukan kemewahan pejabat. Saat rakyat turun ke jalan, yang dibutuhkan bukan intimidasi senjata, melainkan ruang dialog yang terbuka dan jujur. Kita memahami, kerusuhan merugikan banyak pihak. Penjarahan dan pembakaran jelas melukai kepentingan umum. Tetapi menafikan penyebab di hulu jauh lebih berbahaya. Kerusuhan hanyalah gejala. Penyakit sebenarnya adalah ketidakadilan yang dibiarkan menumpuk. Pemerintah tidak bisa hanya sibuk memadamkan api di hilir, sementara bara di hulu terus dibiarkan menyala. Editorial ini menyerukan agar pemerintah segera melakukan koreksi kebijakan yang nyata. Hentikan program-program yang membebani rakyat kecil. Revisi aturan yang hanya menguntungkan segelintir elit. Beranilah mengganti pejabat yang arogan, yang sibuk mempertontonkan kemewahan di tengah kesulitan rakyat. Bukalah ruang dialog yang melibatkan masyarakat, tokoh agama, akademisi, dan media untuk merumuskan jalan keluar bersama. Ingatlah, demokrasi tidak pernah bisa ditegakkan dengan kekerasan. Demokrasi hanya bisa tumbuh dengan cara-cara demokratis. Menutup telinga terhadap aspirasi rakyat, apalagi menjawabnya dengan militerisme, hanya akan menjauhkan bangsa ini dari cita-cita demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang dipertahankan dengan represi kehilangan ruhnya bahkan sebelum mati. Api kemarahan rakyat hari ini adalah peringatan keras bagi penguasa. Jangan salah membaca tanda zaman. Jangan terjebak pada narasi bahwa ini sekadar ulah segelintir provokator. Di balik wajah-wajah marah di jalanan ada cerita panjang tentang rakyat yang merasa tidak diwakili, tidak dibela, dan tidak didengar. Maka belajarlah dari api, bukan menyiramnya dengan api. Belajarlah dari suara rakyat yang terlanjur meledak, agar tidak makin jauh dari kendali. Karena bangsa yang mengabaikan keadilan, pada akhirnya sedang menyalakan api bagi kehancurannya sendiri. (*)
Baca juga :
• Flexing, Luka Kepercayaan Publik
• Gas Oplosan dan Subsidi
• Kebijakan dan Rasa Keadilan