Podiumnews.com / Kolom / Editorial

TikTok Live Dinonaktifkan

Oleh Podiumnews • 04 September 2025 • 20:02:00 WITA

TikTok Live Dinonaktifkan
ILUSTRASI: Seorang pelaku UMKM memanfaatkan siaran langsung TikTok untuk memasarkan produk dagangan secara interaktif, memperlihatkan semangat adaptasi usaha kecil di era digital. (podiumnews)

PENONAKTIFAN fitur TikTok Live baru-baru ini menimbulkan riak besar di ruang publik digital Indonesia. Bagi sebagian orang, ini hanya soal hilangnya satu fitur dari sebuah platform media sosial. Namun bagi ribuan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), keputusan mendadak ini ibarat memutus aliran oksigen bagi usaha yang bertumpu pada komunikasi real time dengan konsumennya.

Sejak beberapa tahun terakhir, fitur live streaming menjadi motor penting dalam transformasi pemasaran digital. UMKM memanfaatkannya untuk berinteraksi langsung, membangun kepercayaan, menjawab pertanyaan konsumen secara spontan, hingga mendorong transaksi impulsif. Bagi banyak pelaku usaha kecil, terutama yang belum mampu menyewa toko fisik atau berinvestasi besar dalam iklan, fitur live adalah jalan pintas yang murah sekaligus efektif. Penonaktifan tiba-tiba berarti menghentikan mesin produksi yang sedang berjalan, tanpa memberikan alternatif memadai.

Pemerintah menyebut kebijakan ini merupakan inisiatif dari platform untuk menekan risiko penyebaran konten negatif. Argumen ini sah, tetapi timpang. Sebab, yang dikorbankan bukan hanya ruang ekspresi, melainkan denyut ekonomi rakyat kecil. Moderasi konten memang mutlak diperlukan, tetapi apakah satu-satunya jalan adalah menutup total fitur yang justru menopang keberlangsungan usaha? Apakah negara rela mengorbankan dapur ribuan keluarga UMKM demi pendekatan yang serba instan?

Persoalan ini memperlihatkan kelemahan mendasar dalam tata kelola ekonomi digital kita: regulasi yang reaktif, minim kajian dampak, dan cenderung mengikuti logika kepentingan sesaat. Alih-alih memperkuat instrumen pengawasan konten, pemerintah seolah lebih mudah memilih opsi yang drastis. Padahal, moderasi bisa dilakukan dengan banyak cara: pembatasan durasi, verifikasi akun, algoritma penyaring, kurasi tematik, penjadwalan yang lebih ketat, hingga sanksi bertahap bagi pelanggar.

Editorial ini menekankan bahwa keseimbangan adalah kata kunci. Moderasi konten tidak boleh mengorbankan keberlanjutan ekonomi rakyat. Ekosistem digital tidak hanya dihuni oleh penyebar hoaks atau konten negatif, tetapi juga oleh jutaan orang yang menggantungkan hidupnya dari sana. Jika negara tidak mampu menghadirkan regulasi yang adil dan proporsional, maka ruang digital akan terus menjadi ladang ketidakpastian yang menggerus kepercayaan dan daya saing pelaku usaha kecil.

Di sisi lain, pelaku UMKM juga tidak boleh lengah. Ketergantungan mutlak pada satu platform adalah kerentanan. Hilangnya satu fitur harus menjadi alarm untuk melakukan diversifikasi strategi pemasaran. Media sosial lain menyediakan opsi live, katalog produk, reels, hingga ulasan pelanggan. UMKM perlu membangun aset mandiri seperti basis data pelanggan, kanal WhatsApp Business, newsletter, dan website sederhana agar tidak kembali terguncang ketika satu pintu digital ditutup.

Lebih jauh, kasus TikTok Live ini mengingatkan kita pada pentingnya desain besar ekonomi digital nasional. Apakah negara ingin memfasilitasi inovasi, atau justru mengurungnya dengan kebijakan tambal sulam? Apakah keberpihakan pada UMKM hanya retorika, atau sungguh diwujudkan dalam regulasi yang berpihak? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan sekadar menonaktifkan sebuah fitur. Kebijakan harus berbasis data, membuka ruang partisipasi publik, dan memiliki peta jalan jelas: indikator risiko apa yang diukur, fitur mana yang dibatasi, dan sampai kapan pembatasan diberlakukan.

TikTok Live hanyalah satu contoh. Besok atau lusa, mungkin ada fitur lain yang tiba-tiba hilang. Namun yang sejatinya dipertaruhkan bukan sekadar teknologi, melainkan keberlanjutan ekosistem ekonomi digital yang menjadi tumpuan banyak orang. Transparansi, proporsionalitas, dan akuntabilitas mesti menjadi fondasi setiap keputusan. Karena di balik layar gawai yang mendadak gelap, ada ribuan wajah pedagang kecil yang gelisah. Mereka bukan sekadar pengguna, melainkan tulang punggung ekonomi rakyat. Negara perlu hadir dengan kebijakan yang lebih cerdas, lebih adil, dan lebih berpihak. (*)